Pada (bait) ke-16 dan bait ke-17, Pupuh ke-2 Kinanthi, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Kami satukan dalam satu kajian karena temanya serupa dan berkesinambungan, yakni tentang perilaku anak muda jaman itu yang terjerumus dalam berbagai kebiasaan buruk akibat suka menuruti kemauan sendiri, susah untuk dinasehati. Kami ingatkan bahwa setting cerita ini adalah abad ke-18.
Yen wong anom-anom iku,
kang kanggo ing masa iki,
andhap asor kang den simpar,
umbag gumunggunging dhiri.
Obral umuk kang den gulang,
kumenthus lawan kumaki.
Sapa sira sapa ingsun,
angalunyat sarta edir,
iku wewatone uga.
Nom-noman adoh wong becik,
emoh angrungu carita,
carita ala miwah becik.
Terjemahan bahasa Indonesia:
Para pemuda-pemuda itu,
di masa sekarang ini,
sikap rendah hati ditinggalkan,
sebaliknya pamer menyombongkan diri.
Mengobral bualan yang dipentingkan
berlagak mampu dan congkak.
Tidak mengenal teman satu sama lain,
Ngelunjak dan pamer,
itu juga kebiasaannya.
Para pemuda menjauhi orang yang berperilaku baik,
tidak mau mendengar cerita,
cerita yang baik maupun cerita yang jelek.
Kajian per kata:
Yen (kalau) wong (orang) anom–anom (para pemuda-pemuda) iku (itu), kang (yang) kanggo (untuk) ing (di) masa (masa) iki (kini), andhap asor (rendah hati) kang (yang) den (di) simpar (singkiri, ditinggalkan), umbag (pamer) gumunggunging (mengagungkan) dhiri (diri). Para pemuda-pemuda itu, di masa sekarang ini, sikap rendah hati ditinggalkan, sebaliknya pamer menyombongkan diri.
Ini adalah perilaku anak-anak muda yang patut diwaspadai oleh para orang tua. Mereka sekarang ini umumnya sudah meninggalkan sikap rendah hati, sopan santun, subasita di dalam pergaulan. Sebaliknya mereka sangat gemar pamer dan menyombongkan diri.
Dalam budaya Jawa sikap sopan itu tercermin dalam tutur kata dan gesture tubuh. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut padanan kata sopan, yaitu: tatakrama, subasita, anoraga, trapsila, andhap asor, dll.
Tatakrama adalah etiket atau manner atau unggah-ungguh. Subasita adalah sikap menyenangkan dalam bergaul dengan orang lain. Anoraga adalah gesture menghormat, semisal kalau Anda salaman dengan seseorang dan sedikit membungkuk itu tanda Anda menghormati orang tersebut. Trapsila adalah sikap menghargai orang yang lebih tinggi. Andhap asor adalah rendah hati, suatu sikap batin yang tidak mengunggulkan diri sendiri.
Nah kesemua sikap di atas jaman kini sangat sulit ditemukan pada anak-anak muda karena mereka memang sengaja menyingkirkan itu semua. Kata den simpar berarti menyingkirkan dengan kaki apa yang menghalangi di depannya. Jadi seolah-olah semua kategori kesopanan di atas menjadi penghalang jalan yang harus ditendang (den simpar).
Sebagai ganti dari hilangnya sikap terpuji di atas muncullah kecenderungan untuk menggunggulkan diri, umbag gumunggunging dhiri. Memamerkan segala kelebihan diri sendiri, entah dalam hal kemampuan, harta atau kedudukan dan keturunan.
Obral (mengobral) umuk (bualan) kang (yang) den (di) gulang (dikelola, diseriusi, dipentingkan), kumenthus (berlagak mampu) lawan (dan) kumaki (congkak). Mengobral bualan yang dipentingkan, berlagak mampu dan congkak.
Membual atau umuk adalah mengatakan hal-hal yang jauh lebih besar dari sebenarnya. Ada indikasi mark up kemampuan dalam sikap umuk ini. Apabila menjadi kebiasaan yang berkelanjutan (digegulang) maka ini merupakan sifat yang amat buruk. Kumenthus adalah sikap seperti bisa-bisa (mampu) aja, kaya yak-yaka, bergaya sok bisa. Kumaki adalah sikap merendahkan orang lain, menganggap orang lain tidak mampu.
Sapa (siapa) sira (kamu) sapa (siapa) ingsun (saya), angalunyat (ngelunjak) sarta (serta) edir (mempertontonkan dengan sombong), iku (itu) wewatone (kebiasaannya) uga (juga). Tidak engenal teman satu sama lain, Ngelunjak dan pamer, itu juga kebiasaannya (anak muda).
Sapa sira sapa ingsun adalah kiasan bagi orang yang pura-pura tak mengenal temannya karena yang bersangkutan sudah naik derajat. Ada contoh kisah yang menggambarkan kalimat tadi, yakni kisah Sucitra-Kumbayana dalam dunia pewayangan.
Alkisah Sucitra dan Kumbayana adalah teman seperguruan. Keduanya adalah murid Resi Baradwaja yang notabene adalah ayah Kumbayana sendiri. sebagai teman kuliah tentu mereka sangat akrab layaknya saudara. Namun Sucitra lulus duluan dan meniti karir di Pancala. Dia kemudian menjadi raja di sana dan bergelar Prabu Drupada.
Setelah Kumbayana mendapat ijazah dia bermaksud menyusul Sucitra untuk nempil kamukten, ikut menikmati keberhasilan teman seperguruan. Namun ketika bertemu Sucitra bersikap sombong dan sapa sira sapa ingsun. Kumbayana yang adalah teman lama diperlakukan layaknya rakyat jelata yang harus menghormat. Sikap Kumbayana yang sok akrab (ya memang akrab sebenarnya) membuat Sucitra marah karena dianggap tak sopan. Dia menghajar Kumbayana sampai cacat. Kelak Kumbayana ini dikenal sebagai Resi Drona. Ini cerita tidak baik, jangan ditiru lho ya!
Angaluyat atau nglunjak adalah sikap tak sopan pada orang yang lebih tinggi atau lebih tua. Edir adalah sikap mempertontonkan kelebihan. Ngedir-edirake kasudibyan berarti mempertontonkan kesaktian pada orang banyak. Jelas ini sikap yang penuh bumbu kesombongan, alias mentang-mentang.
Sifat-sifat di atas adalah semuanya sifat tidak terpuji yang sering menjadi kebiasaan anak-anak muda jaman sekarang (waktu serat ini digubah).
Nom-noman (orang-orang muda) adoh (jauh dari) wong (orang) becik (baik), emoh (tak mau) angrungu (mendengarkan cerita) carita, carita ala (cerita buruk) miwah(maupun) becik (baik).
Mengapa semua watak buruk itu bisa menjangkiti anak-anak muda? Karena mereka menjauhkan diri dari orang-orang baik. Seperti yang sudah diuraikan pada bait sebelumnya, berkumpul dengan orang jahat akan membuat ketularan jahat juga karena watak ditularkan lewat pertemanan.
Selain itu mereka juga enggan mendengarkan cerita atau kisah-kisah dari para orang tua-tua, entah kisah yang baik atau buruk. Karena dalam kisah-kisah itu terdapat perumpamaan-perumpamaan yang dapat diambil sebagai pelajaran.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/07/kajian-wulangreh-1617-wewateke-wong-anom/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar