Pada (bait) ke-11, Pupuh ke-2 Kinanthi, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
Yen wus tinitah wong agung,
aja sira gumunggung dhiri.
Aja raket lan wong ala,
kang ala lakunireki.
Nora wurung ngajak-ajak,
satemah anenulari.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Jika kau sudah ditakdirkan menjadi pembesar,
janganlah menyombongkan diri.
Jangan kau dekati orang yang memiliki tabiat buruk,
yang bertingkah laku buruk.
Tak urung akan mengajak pada keburukan,
sehingga menularkan perbuatan buruknya.
Kajian per kata:
Yen (kalau) wus (sudah) tinitah (ditakdirkan) wong (orang) agung (besar), aja (janganlah) sira (engkau) gumunggung (menyombongkan) dhiri (diri). Jika kau sudah ditakdirkan menjadi pembesar, janganlah menyombongkan diri.
Serat Wulangreh ini sebagiannya memang berupa nasehat untuk para keturunan Paku Buwana IV sendiri, beserta para punggawa nagari Mataram. Sehingga banyak juga ditemukan nasihat bagi mereka khususnya, seperti pada bait ini.
Jika engkau sudah terlahir sebagai pembesar, maksudnya adalah darah biru, keturunan ningrat, yang mau tak mau telah mendapat perlakuan istimewa dalam masyarakat sebagai orang pilihan, maka janganlah menyombongkan diri. Jangan mentang-mentang keturunan orang besar sehingga meremehkan orang lain. Tata pergaulan pun harus dijaga, tingkah laku juga harus dijaga jangan sampai memalukan nama besar yang telah disandang.
Inilah sebabnya kalau Anda hidup di daerah Surakarta dan sekitarnya dan kebetulan punya kenalan keturunan ningrat dari keraton, akan tampak tutur kata mereka yang halus dan tertib. Mereka umumnya bertingkah sopan santun, susila anuraga, tidak gampang marah atau bicara kasar sebangsa memaki-maki, dsb. Yang demikian itu karena memang leluhur mereka sangat keras dalam mendidik dan memberi contoh. Bahkan raja-raja Surakarta juga berbicara memakai bahasa halus kepada siapa saja, tidak mentang-mentang raja terus bicara seenaknya.
Aja (jangan) raket (mendekati) lan (pada) wong (orang) ala (bertabiat buruk), kang (yang) ala (buruk) lakunireki (perilakunya). Jangan kau dekati orang yang memiliki tabiat buruk yang bertingkah buruk dalam kesehariannya.
Satu hal lagi, jangan sekali-kali bergaul dengan orang yang bertabiat buruk, yang suka berbuat buruk juga. Hal itu karena teman adalah cermin dari teman lainnya. Jika seorang buruk perilakunya mempunyai teman akrab, maka dipastikan teman akrabnya juga berperilaku buruk. Karena keburukan hanya akan nyaman jika berkumpul dengan keburukan. Lebih baik mencari teman yang baik akhlaknya, terpuji perilakunya. Karena akhlak seseorang itu menular lewat pertemanan.
Nora (tak) wurung (urung) ngajak–ajak (akan mengajak-ajak), satemah (sehingga) anenulari (menularkan perbuatan buruknya). Tak urung akan mengajak pada keburukan, sehingga menularkan perbuatan buruknya.
Ada peribahasa dalam bahasa Jawa, aja cedhak kebo gupak, jangan dekat-dekat kebo berlumpur. Kata gupak merujuk pada perilaku kerbau yang suka berkubang di lumpur sehingga sekujur tubuhnya penuh lumpur kotor. Maka jangan dekat-dekat dengan kerbau agar tidak ikut terkena lumpur.
Peribahasa di atas adalah kiasan orang yang dekat-dekat dengan orang berwatak buruk. Lambt laun, dan sukar dihindari akan ikut terkena keburukannya. Bisa-bisa malah ketularan sifat buruknya sehingga gemar berkubang dalam lumpur dosa. Maka waspadalah.
Apa yang disampaikan di atas adalah nasihat yang berguna bagi siapa saja. Baik untuk jaman ketika serat ini ditulis maupun untuk jaman sekarang. Tak ada salahnya mengambil hal-hal baik dari masa lalu. Semoga bermanfaat.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/05/kajian-wulangreh-11-aja-cedhak-kebo-gupak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar