Kajian Wulangreh (1): Bebuka
Serat Wulangreh merupakan salah satu serat-serat piwulang yang populer di tanah Jawa. Serat ini tak kalah moncer dari Wedatama, juga cukup terkenal di masyarakat. Banyak digubah menjadi gendhing-gendhing yang sangat apik dan digemari kalayak. Namun seperti Wedatama, jaman sekarang juga mulai banyak yang tidak mengerti artinya. Hal itu disebabkan minat terhadap basa Jawa kian menurun.
Mengingat alasan di atas kami juga ingin mengkaji serat Wulangreh ini sekedar untuk memudahkan generasi muda memahami isinya. Tujuan kami hanyalah agar kutipan bait-bait dari serat ini yang tersebar dalam berbagai gubahan gendhing dan kutipan-kutipan lain tidak menjadi mubazir hanya karena yang mendengar tidak paham.
Adapun metode yang kami gunakan adalah dengan pendekatan per kata secara gramatikal. Cara ini sering dipraktekkan di pesantren ketika mengaji kitab kuning. Meski agak lama dan memakan waktu cara ini lebih mengena dan mendalam. Apalagi jika dilakukan dengan telaten akan menambah perbendaharaan kata-kata basa Jawa lama.
Walaupun sebenarnya penulis kajian ini juga tak punya kualifikasi yang mumpuni untuk melakukan ini semua, namun kami berharap upaya kecil ini dapat memberi manfaat, meski hanya sebesar zarrah. Itu sudah cukup bagi kami.
Pada ke 1, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
Pamedare wasitaning ati,
cumanthaka aniru Pujangga,
dhahat mudha ing batine,
nanging kedah ginunggung,
datan wruh yen keh ngesemi,
ameksa angrumpaka,
basa kang kalantur,
tutur kang katula-tula,
tinalaten rinuruh kalawan ririh,
mrih padhanging sasmita.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Diuraikannya nasehat dari hati ini,
bermula dari kelancangan hati berniat meniru para pujangga.
Walau masih sangat muda, belum pengalaman dalam pemikiran,
tetapi karena ingin disanjung.
Tidak tahu jika kelak banyak yang mencibir.
Memaksakan diri merangkai kata,
dengan bahasa yang kacau-balau,
serta nasehat yang sia-sia.
Dikerjakan dengan telaten diperbagus dengan sabar,
agar terangnya isyarat yang disampaikan.
Kajian per kata:
Pamedare (diuraikannya) wasitaning (petuah, nasehat) ati (hati). Diuraikannya nasehat yang keluar dari hati ini. Cumanthaka (lancang) aniru (meniru) Pujangga (pujangga, kaum cerdik pandai). Bermula dari kelancangan hati berniat meniru para pujangga.
Diuraikannya nasihat ini sebagai ungkapan dari hati yang dalam. Dengan lancang memberanikan diri meniru para pujangga yang sudah ahli menulis serat (kitab).
Sri Pakubuwana IV adalah raja pinandita. Selain raja beliau juga seorang cendekia yang mumpuni dalam kasusatraan, budaya, seni dan agama. Walau paham keagamaan beliau kenthal dengan aroma lokal atau kejawen tetapi penguasaan ilmu beliau amatlah luas. Hal ini dapat ditilik dari karya-karya beliau yang lain. Salah satu magnus opus satra Jawa yang turut beliau cipta adalah Sert Centhini, berkolaborasi dengan beberapa pujangga yang lain.
Walau seorang raja dalam menulis beliau tidak aji mumpung pegang kuasa, lihatlah bait pertama serat Wulangreh ini. Penuh dengan kata-kata rendah hati khas seorang cendekiawan. Dalam hal ini beliau patut diacungi jempol karena mampu memisahkan antara jabatan raja dan hobi sastra.
Dhahat (walau amat) mudha (muda, belum pengalaman) ing batine (dalam pemikiran), nanging (tetapi) kedah (harus, ingin) ginunggung (disanjung). Walau masih amat muda, belum pengalaman dalam olah pemikiran (batin) namun karena ingin mendapat sanjungan.
Mengaku belum berpengalaman dalam olah kebatinan, dalam pemikiran, dan hanya ingin tampil demi mendapat pujian semata-mata. Sekali lagi ini adalah ungkapan kerendahan hati, sebagai pernyataan bahwa karyanya belum berbobot dan hanya karena ingin dipuji saja.
Datan (tidak) wruh (tahu) yen (kalau) keh (banyak) ngesemi (mencibir, melihat sambil tersenyum karena memperolok, mencibir). Tidak tahu kalau banyak yang mencibir.
Ngesemi adalah memberi senyuman. Kalau orang Jawa melihat sesuatu yang dirasa belum pantas tidak lantas mentertawakan, tetapi cukup tersenyum. Ini isyarat bahwa orang itu tidak berkenan.
Ameksa (memaksakan diri) angrumpaka (merangkai kata), basa (bahasa) kang (yang) kalantur (kacau balau), tutur (perkataan) kang (yang) katula–tula (sia-sia). Memaksakan diri merangkai kata, dengan bahasa yang kacau-balau serta nasehat yang sia-sia.
Ini juga ungkapan rendah hati lagi, mengaku bahwa merangkai kata baginya sangat sulit, tetapi memaksakan diri, sekuat upaya walau dengan bahasa yang kacau-balau, menyampaikan nasihat yang sia-sia (tak berbobot). Padahal jelas bahwa serat Wulangreh ini termasuk karya sastra yang bermutu tinggi dari segi bahasa dan amat tinggi kandungan filosfinya.
Tinalaten (dikerjakan dengan telaten) rinuruh (diperbagus) kalawan (dengan) ririh (sabar), mrih (agar) padhanging (terangnya) sasmita (isyarat). Dikerjakan dengan telaten diperbagus dengan sabar, agar terangnya isyarat yang disampaikan.
Walau dengan susah payah karena kurangnya pengalaman tadi, dengan telaten karena bahasa yang kacau balau tadi, penyusunan nasihat ini dikerjakan dengan sabar agar isyarat yang disampaikan menjadi jelas, terang benderang (padhang).
Setelah kita cermati bait pertama ini, isinya tak lain adalah ungkapan kerendahan hati penulis serat Wulangreh. Hal ini menjadi bukti bahwa Sri Paku Buwana IV adalah raja cendekia yang mampu memisahkan peran raja dan komitmen beliau pada sastra. Meski punya jabatan beliau tidak serta-merta menitahkan serat ini sebagai pedoman hidup, tetapi tetap dengan rendah hati berusaha menyajikan karya ini sebagai upaya intelektual untuk memajukan pendidikan masyarakat yang sifatnya opsional. Mangga kalau mau dipakai dan dituruti!
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/30/kajian-wulangreh-1-bebuka/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar