Sabtu, 30 Maret 2024

KAJIAN SERAT WULANGREH PADA 1 PUPUH 4 DHANDHANGGULA

 

Kajian Wulangreh (4): Amilih Sang Guru

Pada (bait) ke 4, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Nanging yen sira ngguguru kaki,
Amiliha manungsa kang nyata,
Ingkang becik martabate.
Sarta kang wruh ing kukum.
Kang ngibadah lan kang ngirangi.
Sukur oleh wong tapa,
ingkang wus amungkul.
Tan mikir pawewehing liyan,
 iku pantes sira guronana kaki,
sartane kawruhana.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tetapi jika engkau berguru, Nak.
Pilihlah guru yang sebenarnya,
Yang terjaga baik  martabatnya,
Serta yang memahami hukum.
Dan rajin beribadah dan mengurangi (awa nafsu).
Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa,
yang tekun menjalani pertapaannya.
Dan tidak mengharapkan imbalan orang lain,
dia pantas kau gurui.
Serta (yang demikian itu) ketahuilah.

 

Kajian per kata:

Nanging (tetapi)  yen (kalau)  sira (engkau) ngguguru (berguru) kaki (Nak). Amiliha (pilihlah) manungsa (orang) kang (yang) nyata (benar). Tetapi jika engkau berguru Nak, pilihlah guru  yang sebenarnya.

Ini kelanjutan dari bait ke-3 yang menyarankan agar seseorang mencari guru ketika mengkaji kitab Al Quran (dan juga dalam hal ilmu-ilmu lain). Tetapi jangan asal mencari guru. Harus dipilih guru yang benar-benar menguasai ilmu tersebut secara lahir batin, secara teori dan praktek, secara nalar dan keyakinan.

Tentu mencari guru yang demikian sangatlah sulit, lebih-lebih di jaman ketika banyak orang mengaku pintar dan paling benar. Namun penggubah serat Wulangreh ini telah menyebutkan ciri-ciri guru sejati tersebut, agar kita tak salah memilih panutan.

Ingkang (yang) becik (terjaga baik) martabate (martabatnya). Yang terjaga baik  martabatnya.

Martabat adalah penghargaan orang lain kepada orang tersebut. Jika seseorang dihargai oleh orang lain, tetangga, teman dan orang yang mengenal sebagai orang baik, maka kemungkinan besar memang dia orang baik.

Memang ada kemungkinan seseorang baik hanya untuk pencitraan saja, terhadap hal ini kita mesti menilai dari keriteria lain lagi. Namun jika seseorang dianggap buruk oleh orang sekitarnya maka kemungkinan besar dia memang bukan orang baik. Maka yang pertama adalah mencari guru yang bermartabat baik, dan sesudah itu mesti dinilai dengan kriteria berikutnya.

Sarta (serta) kang (yang) wruh (mengetahui) ing (perihal) kukum (hukum). Serta yang memahami hukum.

Kriteria kedua adalah; mencari orang yang mengerti hukum. Hukum di sini berarti hukum-hukum agama, karena konteks perintah mencari guru di atas adalah soal pemahaman terhadap Al Quran. Namun juga bisa berari hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat setempat, yang berupa peraturan, angger-angger (undang-undang) dan sebagainya.

Kang (yang) ngibadah (menjalankan ibadah) lan (dan) kang (yang) ngirangi (mengurangi hawa).  Dan rajin beribadah dan mengurangi (hawa nafsu).

Selain kedua hal di atas yang tak kalah penting adalah mencari guru yang tekun menjalankan ibadah, dan menjalankan  laku mengurangi hawa nafsu. Kata ngirangi dalam bahasa Jawa lazim diartikan sebagai mengurangi kesenangan, alias mengumbar hawa nafsu.

Dua hal ini, beribadah dan menahan hawa nafsu adalah satu paket yang sering disatukan oleh karena memang ada korelasi keduanya. Orang yang rajin beribadah pastilah tidak akan sembarangan mengumbar hawa nafsu, kecuali  jika ibadahnya hanya lelamisan (pura-pura saja).

Sukur (syukur-sykur) oleh (mendapatkan) wong (seorang) tapa (pertapa), ingkang (yang) wus (sudah) amungkul (tekun menjalani). Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa yang tekun menjalani pertapaannya.

Akan sangat beruntung jika selain kriteria yang sudah disebutkan tadi juga mendapatkan seorang pertapa yang sudah tekun menjalani pertapaannya. Kata mungkul  berarti menunduk, artinya pandangannya sudah tak kemana-mana, tidak menoleh kiri-kanan, maknanya sudah tidak hirau dengan pujian atau celaan orang lain. Hanya memusatkan pandangan pada keyakinan yang sudah menetap di hatinya. Orang yang demikian tak gampang lagi dipengaruhi oleh bujuk rayu dan ancaman. Benar-benar orang yang sudah mantap dalam keyakinan dan amalannya.

Tan (tidak) mikir (memikirkan) pawewehing (pemberian)  liyan (orang lain). Dan tidak mengharapkan pemberian orang lain.

Motivasi semua tindakannya semata-mata hanya mengabdi, beribadah kepada Sang Pencipta. Bukan sekedar mencari posisi diri, haus kekuasan, ingin pujian, mementingkan golongan dan pribadinya. Perkataan dan perilakunya adalah refleksi kesadaran intelektualnya, bukan timbul dari ego yang liar, dan juga bukan atas pesanan sponsor atau yang bayar.

Iku (itu) pantes (pantas) sira (engkau) guronana (berguru) kaki (Nak).

Jika ada manusia dengan ciri-ciri di atas maka engkau pantas berguru padanya. Mencari ilmu memang bisa di mana saja, dari siapa saja, tetapi mencari guru adalah soal lain. Guru adalah orang tua kedua yang harus kita turuti segala nasehatnya, kita berikan penghormatan dan bakti kita.

Dalam banyak budaya guru sama pentingnya dengan orang tua. Jika dari orang tua kita mendapatkan nasab berkaitan dengan darah/keturunan, dari guru kita mendapatkan nasab keilmuan. Bedanya kita tak dapat memilih dari orang tua mana kita dilahirkan, tetapi terhadap guru kita harus melakukan itu. Maka memilih guru juga harus cermat, teliti dan hati-hati, bukan asal-asalan.

Sartane (serta) kawruhana (ketahuilah). Yang demikianlah itu ketahuilah! Wahai anak-anak muda.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/01/kajian-wulangreh-4-amilih-sang-guru/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KANCIL KANG PADHA MIRIS