Kajian Wulangreh (2) Sasmitaning Ngaurip
Pada ke 2, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
Sasmitaning ngaurip puniki,
apan ewuh yen nora weruha.
Tan jumeneng ing uripe.
Akeh kang ngaku-aku,
pangrasane sampun udani,
Tur durung wruh ing rasa,
rasa kang satuhu,
Rasaning rasa punika,
upayanen darapon sampurna ugi,
ing kauripanira.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
Isyarat dalam kehidupan ini,
akan repot kalau kau tak mengetahuinya.
Tidak akan tegak hidupnya.
Banyak yang mengaku,
dirinya sudah memahami isyarat (dalam hidup).
Padahal belum mengetahui tentang ilmu rasa,
inti dari rasa yang sesunguhnya.
Rasanya rasa itu,
usahakanlah supaya sempurna juga,
dalam kehidupanmu.
Kajian per kata:
Sasmitaning (isyarat) ngaurip (dalam hidup) puniki (inilah), apan (malah) ewuh (repot) yen (kalau) nora (tidak) weruha (mengetahuinya). Isyarat dalam kehidupan ini, akan repot kalau kau tak mengetahuinya.
Dalam bait pertama disebutkan bahwa piwulang dalam serat ini ditujukan pada para muda agar memahami isyarat dalam kehidupan. Di gatra awal bait kedua ini disebutkan lagi bahwa isyarat kehidupan akan membuat repot kalau kita tidak memahaminya.
Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan isyarat itu? Marilah kita lanjutkan kajian kita agar serat ini menjelaskan sendiri pada bait-bait selanjutnya. Yang jelas sampai bait ini hanya disebutkan ciri-ciri dan akibat orang yang tak mengetahui isyarat-isyarat yang ada.
Tan (takkan) jumeneng (berdiri, tegak) ing (dalam) uripe (hidupnya). Tak akan tegak hidupnya.
Begitu pentingnya mengerahui isyarat-isyarat itu sehingga kehidupan seseorang takkan tegak tanpa mengetahuinya, akan repot dalam hidupnya. Ini jelas disebabkan amat pentingnya mengetahui isyarat tersebut.
Akeh (banyak) kang (yang) ngaku–aku (mengaku-aku), pangrasane (perasaanya) sampun (sudah) udani (menelanjangi, kiasan untuk memahami secara betul-betul). Banyak yang mengaku,dirinya sudah memahami isyarat (dalam hidup.
Karena penting itulah banyak orang yang kemudian mengaku-aku sudah memahami isyarat itu. Entah pengakuan itu didorong oleh nafsu pamer, atau karena didorong kebodohan mereka sehingga mengira bahwa ilmu tentang isyarat ini mudah.
Tur (padahal) durung (belum) wruh (mengetahui) ing (dalam) rasa (lmu rasa). Padahal belum mengetahui tentang ilmu rasa.
Mereka hanya menduga-duga saja, kaduk wani kurang deduga, telalu pongah dengan kemampuan diri sehingga tidak awas dalam mengukur sesuatu pengetahuan, merasa sudah paham padahal belum.
rasa (ilmu rasa) kang (yang) satuhu (sejati). Inti dari ilmu rasa yang sesungguhnya.
Di sini kami menggunakan istilah ilmu rasa, agar dipahami bahwa yang dimaksud bukan sekedar ilmu dan juga bukan sekedar perasaan. Dalam kajian Wedatama telah kami singgung tentang ilmu rasa ini, yakni kearifan yang membuat manusia tanggap dalam mengenali situasi, isyarat tanda-tanda, sehingga mampu mengambil sikap yang tepat terhadap segala peristiwa.
Rasaning (rasanya) rasa (ilmu rasa) punika (itulah), upayanen (usahakan) darapon (supaya) sampurna (sempurna) ugi (juga), ing (dalam) kauripanira (kehidupanmu). Rasanya rasa itu usahakanlah , supaya sempurna juga, dalam kehidupanmu.
Oleh karena ilmu rasa itu haruslah engkau upayakan dalam hidupmu, agar supaya sempurna juga kehidupanmu.
Di awal telah dikatakan bahwa ilmu rasa ini akan dapat mengetahui tentang adanya isyarat-isyarat dalam kehidupan. Isyarat atau dalam serat ini disebut dengan istilah sasmita adalah sesuatu yang halus yang hanya orang-orang terdidik saja yang mengetahui. Dalam budaya Jawa ada ungkapan sasmita narendra, yang dimaksud adalah cara komunikasi dengan bahasa halus agar hanya yang dituju saja yang mengerti.
Sasmita dalam bait pertama tadi juga disampaikan oleh penggubah serat ini dengan menggunakan segenap daya upaya agar sasmita tadi dapat ditangkap oleh para pembaca serat ini kelak. Dari konteks kalimat tadi sasmita diartikan sebagai pesan yang tersembunyi yang ada dalam segenap sesuatu. Dalam konteks kehidupan sasmita berarti tanda-tanda keadaan di sekitar kita yang memerlukan sebuah sikap yang tepat. Satu contoh yang sederhana berikut ini mungkin dapat memberi sedikit kejelasan.
Satu kali seseorang sedang bertamu kepada seorang cendekiawan. Si tamu tadi telah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan di tengah terik panas matahari. Setelah dipersilakan masuk tampak si tamu kepanasan dan capek. Beberapa kali ia menelan ludah untuk mengelabui rasa hausnya, gesture tubuhnya tampak gelisah. Beberapa kali ia mengelus tenggorokan seakan hendak meredakan rasa ngorong di kerongkongan.
Nah si tuan rumah yang sudah lantip panggraitane menangkap isyarat keadaan ini. Tampak olehnya si tamu yang kehausan, maka muncullah sikapnya atas kenyataan ini. Dia mengambil segelas air dan buru-buru menghidangkan agar si tamu cepat-cepat minum. Inilah yang dimaksud ilmu rasa, peka terhadap situasi dan mampu bertindak tepat mengatasi keadaan.
Dalam konteks kehidupan spiritual sasmita bisa diartikan sebagai ayat-ayat Allah, yang tampak pada alam semesta maupun pada diri manusia. Orang-orang yang telah tuntas dalam ilmu rasa akan sanggup mengenali ayat-ayat Allah tadi, dan mampu bertindak tepat sesuai maksud ayat-ayat Allah tadi.
Dengan adanya respon yang tepat atas sasmita yang diterima, maka hidup manusia akan bahagia, dalam arti seluruh potensinya untuk mengada terpenuhi. Inilah yang dimaksud dalam akhir bait, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira, usahakanlah supaya sempurna juga kehidupanmu.
Cukup sekian bait atau pada ke-2. Semoga kajian-kajian bait berikutnya semakin menjadi jelas dan terang sasmita dalam serat Wulangreh ini.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/31/kajian-wulangreh-2-sasmitaning-ngaurip/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar