Minggu, 28 April 2024

Kajian Wulangreh (40): Kakehan Sanggup Tutur Agupruk

 Pada (bait) ke-40, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Aja kakehan sanggup.
Durung weruh tuture agupruk,
Tutur nempil panganggepe wruh pribadi.
Pangrasane keh kang nggunggung,
kang wus weruh amalengos.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jangan terlalu banyak kesanggupan (janji).
Belum melihat dengan mata kepala sendiri tetapi banyak berbicara.
Yang dikatakannya hanya numpang mendengar seolah-olah mengetahui sendiri.
Dikiranya banyak yang menyanjung,
padahal yang mengetahuinya akan memalingkan muka.

Kajian per kata:

Aja (jangan) kakehan (kebanyakan) sanggup (kesanggupan, janji). Jangan terlalu banyak menjanjikan sesuatu kepada orang lain.

Bait ini sudah beralih ke topik lain dari bait sebelumnya, namun masih berkaitan dengan perilaku banyak omong.  Dan sepertinya subyek bahasan masih sama, orang-orang yang dekat pembesar tadi. Namun kali ini yang disorot berkaitan dengan sikapnya terhadap banyak orang. Hal ini sudah disinggung pada bait ke-38 tentang adol sanggup minta pisungsung. Menyanggupi banyak orang dengan mengambil imbalan. Inilah watak para makelar kasus.

Kepada mereka bait ini menghimbau agar, jangan terlalu banyak menjanjikan sesuatu kepada orang lain. Toh dia juga tidak mengerjakan sendiri apa-apa yang disanggupinya itu. Hanya mengandalkan kedekatan dengan para pembesar yang belum juga setuju dengan usulannya.

Durung (belum) weruh (melihat sendiri) tuture (bicaranya) agupruk (banyak omong). Belum melihat dengan mata kepala sendiri tetapi banyak berbicara.

Namun para makelar memang hanya mencari untung saja, bahkan hal-hal yng belum diketahui dengan benar pun mereka banyak bicara. Agupruk atau agupyuk berarti rame sekali, seolah sudah yakin akan mampu melakukan ini dan itu, dia menyanggupi setiap permintaan.

Tutur (bicara) nempil (menumpang) panganggepe (berlagak seolah) wruh (melihat) pribadi (sendiri). Yang dikatakannya hanya numpang mendengar seolah-olah mengetahui sendiri.

Inilah tabiat para makelar, berkumpul-kumpul dengan sesamanya dan saling menukar  informasi kemudian menjual informasi itu kepada orang banyak. Yang demikian itu sering kita temui di sekitar para pembesar, di kantor-kantor pelayanan, atau di dunia perdagangan. Orang-orang berusaha menutup informasi dan mengantonginya sendiri kemudian menjualnya kepada yang membutuhkan. Janji-janji kemudahan diberikan dengan imbalan upeti, padahal apa yang diusahakannya adalah sesuatu yang sebenarnya memang sudah ada bagi orang banyak tetapi disembunyikan lebih dahulu.

Pangrasane (dikiranya) keh (banyak) kang (yang) nggunggung (memuji), kang (yang) wus (sudah) weruh (tahu) amalengos (akan memalingkan muka).

Dikiranya dengan berbuat itu akan banyak yang memuji, padahal jika orang-orang tahu yang sebenarnya mereka akan memalingkan muka.

Praktek seperti ini juga banyak kita temui di jaman kini. Misalnya saja beberapa waktu lalu ada program tugas belajar bagi sejumlah pos di pemerintahan. Oleh pejabat yang berwenang informasi tentang ini disembunyikan. Dia kemudian memberi informasi ini kepada sanak saudara sendiri, dan kepada yang mau memberi imbalan. Akhirnya yang bisa ikut hanyalah sanak-saudara dan kroni-kroni yang membayarnya. Jika orang banyak tahu praktik ini apakah tidak marah dan memalingkan muka? Tentu saja, karena hak-hak khalayak telah dirampas.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/16/kajian-wulangreh-40-kakehan-sanggup-tutur-agupruk/

Kajian Wulangreh (39): Anuntun Panggawe Juti

 Pada (bait) ke-39, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Yen wong mangkono iku,
nora pantes cedhak lan wong agung.
Nora wurung anuntun panggawe juti.
Nanging ana pantesipun,
wong mangkono didhedheplok.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang seperti itu,
tidak pantas untuk berdekatan dengan pembesar.
Tak urung menuntun untuk berbuat jahat.
Meskipun begitu ada hal yang pantas baginya,
orang yang seperti itu ditumbuk saja.

Kajian per kata:

Yen (kalau) wong (orang) mangkono (seperti) iku (itu), nora (tak) pantes (pantas) cedhak (dekat) lan  (dengan) wong (orang) agung (besar). Orang seperti itu, tidak pantas untuk berdekatan dengan pembesar.

Orang-orang yang menjilat tadi yang kelakuannya sudah diuraikan dalam bait sebelumnya, Adol Sanggup Minta Pisungsung, tidak pantas berdekatan dengan para pembesar. Akan rusaklah masyarakat jika ada segelintir orang yang demikian itu. Dia akan menakut-takuti ke bawah dan menghasut ke atas.

Jika mendekat ke penguasa dia tak menjadi penyambung lidah rakyat, tetapi akan memanipulasi informasi, membelokkan aspirasi, menyetir kebijakan, menyesatkan opini, memelintir perintah, dan masih banyak kekejian yang sanggup ia lakukan.

Jika mendekat ke orang kaya dia tak akan menambah kekayaan orang yang didekati, tetapi malah akan memporotinya. Jika mendekat ke orang miskin pun juga takkan membantu sesama saudara miskinnya, tetapi justru menghisapnya. Kepada orang kaya minta komisi, kepada orang miskin minta upeti. Kelakuannya sungguh tak terbayangkan, tetapi waspadalah orang yang demikian itu ada.

Nora (tak) wurung (urung) anuntun (menuntun, mendorong) panggawe (ke arah perbuatan) juti (jahat). Tak urung menuntun untuk berbuat jahat.

Tak urung orang-orang seperti itu akan menuntun kepada perbuatan jahat. Terhadap orang yang berkuasa dia berusaha mengambil hati agar kebijakan yang dikeluarkan menguntungkannya. Berpura-pura memberi masukan dan nasihat tetapi pamrih hatinya lebih kuat tampil. Berbisik-bisik, berkasak-kusuk menyesatkan. Sungguh celaka sebuah bangsa jika mempunyai warga seperti ini.

Nanging (meskipun demikian) ana (ada) pantesipun (hal yang pantas baginya), wong (orang) mangkono (seperti itu) didhedheplok (ditumbuk saja). Meskipun begitu ada hal yang pantas baginya, orang yang seperti itu ditumbuk saja.

Gatra terakhir ini menyiratkan kebencian yang sangat terhadap para penjilat yang merusak masyarakat seperti di atas. Kata didhedheplok berarti didheplok berkali-kali. Sungguh ini merupakan ungkapan kejengkelan yang bertumpuk-tumpuk. Dan tampaknya ungkapan ini juga mewakili perasaan kita semua.

Namun demikian, tidak mudah menemukan para penjilat ini di alam nyata. Mereka sangat pandai menyamar sebagai pahlawan masyarakat. Kedok mereka tertutup rapi. Mereka juga piawai menyiasati hukum, berkelit, bermanuver agar tak terpergok. Pun jika tertangkap mereka akan tampil dengan senyum menawan, mencitrakan diri sebagai orang yang dizholimi. Salah tangkap kalian! Begitu protesnya.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/16/kajian-wulangreh-38-anuntun-panggawe-juti/

Kajian Wulangreh (38): Adol Sanggup Minta Pisungsung

 Pada (bait) ke-38, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Amrih pareke iku,
yen wus kanggep nuli gawe umuk.
Pan wong akeh sayektine padha wedi.
Tan wurung tanpa pisungsung,
adol sanggup sakehing wong.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Supaya dekat itu,
jika sudah terpakai kemudian membual.
Hingga membuat orang banyak menjadi takut.
Sehingga ia menerima upeti,
dari hasil menyanggupi banyak orang.

Kajian per kata:

Amrih (bermaksud supaya) pareke (dekat) iku (itu), yen (kalau) wus (sudah) kanggep (dianggap, diterima, dipakai sebagai kepercayaan) nuli (kemudian) gawe umuk (membual). Supaya dekat itu, jika sudah terpakai kemudian membual.

Bait ini menyoroti perilaku para penjilat yang suka memuji-muji. Kalau dalam bait yang lalu dianjurkan agar waspada terhadap para penjilat itu karena mereka hanya memuji untuk kepentingan diri mereka sendiri, maka dalam bait ini dijelaskan bahwa para penjilat itu bisa bertindak lebih jauh lagi, dengan akibat yang lebih mengerikan.

Mereka memuji-muji untuk mengambil hati si majikan, agar menjadi dekat dan dianggap sebagai teman setia, dianggap sebagai pengikut atau pendukung yang loyal. Jika yang dikehendaki sudah tercapai, dia dianggap sebagai orang kepercayaan, segera saja ia berbuat ulah. Membual ke sana ke mari, membuat kasak-kusuk demi kepentingan diri sendiri dengan menjual nama sang majikan.

Pan (hingga) wong (orang) akeh (banyak) sayektine (sebenarnya) padha (sama-sama) wedi (takut). Hingga membuat orang banyak menjadi takut.

Akibat tingkah polahnya yang mengatasnamakan majikannya orang-orang kemudian merasa takut atau segan. Jika misalnya sang majikan seorang penguasa maka leluasalah ia menjual kedekatannya untuk merauh keuntungan. Misalnya dengan menjanjikan dapat menaikkan pangkat kepada orang-orang asal mau membayar padanya, menjanjikan dapat proyek besar asalkan mau berbagi keuntungan, dll.

Tan (tak) wurung (urung) tanpa (menerima) pisungsung (upeti),  adol (menjual) sanggup (kesanggupan) sakehing (banyak) wong (orang). Sehingga ia menerima upeti, dari hasil menyanggupi banyak orang.

Akibat manuvernya yang massif itu, upeti pun berdatangan. Banyak orang percaya kepadanya sehingga nitip pamrih ini dan itu. Dia pun menyanggupi dengan menarik imbalan yang besar. Ini berbahaya sekali, ibarat musuh dalam selimut. Karena sang majikan boleh jadi tak menghendaki praktek demikian, tetapi dia menghianati kepercayaan dengan menjual nama baik majikannya untuk kepentingan diri sendiri.

Perilaku para penjilat di sekitar orang-orang besar ini masih sering kita temui di jaman sekarang ini, dua ratus tahun setelah serat ini digubah. Oleh karena itu, sekali lagi waspadalah terhadap para pemuji yang memuji secara tak wajar. Akan lebih baik jika hidup kita tak menggantungkan pada penilaian orang lain. Itu tanda kelemahan jiwa, berkurangnya keikhlasan dan minimnya budya tulus.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/15/kajian-wulangreh-38-adol-sanggup-minta-pisungsung/

Kajian Wulangreh (37): Gunggung Nggendhong Pamrih

 Pada (bait) ke-37, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV

Dene kang padha nggunggung,
pan sepele iku pamrihipun.
Mung warege wadhuk kalimising lathi,
lan telese gondhangipun.
Reruba alaning uwong.

 Terjemahan bahasa Indonesia:

Adapun yang senang menyanjung,
sangat sederhana keinginannya.
Yaitu hanya kenyang perut, klimisnya bibir,
dan basahnya tenggorokan.
Dengan menjual kelemahan orang lain.

Kajian per kata:

Dene (adapun) kang (yang) padha (sama-sama, maksudnya mereka yang suka memuji) nggunggung (memuji), pan sepele (hanya sederhana) iku pamrihipun (keinginannya). Adapun yang suka menyanjung, sangat sederhana keinginannya

Bait ini berisi anjuran untuk tidak terlalu memperhatikan pujian. Karena orang-orang yang memuji sebenarnya hanya ingin mendapatkan sesuatu untuk kepentingan mereka sendiri. Itu pun sebenarnya juga bukan sesuatu yang penting sekali, tetapi sekedar keinginan yang sederhana. Ini menjadi alasan mengapa seharusnya pujian atau juga cacian tidak perlu ditanggapi dengan serius.

Mung (hanya) warege (kenyangnya) wadhuk (perut) kalimising (klimisnya) lathi (bibir), lan (dan) telese (basahnya) gondhangipun (tenggorokan).

Keinginan para pemuji tersebut hanyalah mendapat makanan untuk mengenyangkan perut mereka, klimisnya bibir (tanda baru saja makan) dan basahnya tenggorokan karena minuman. Ini adakah kiasan dari kepentingan pribadi mereka saja. Mereka memuji-muji demi kecipratan rejeki yang sepele, bukan karena kepentingan yang lebih besar. Apalagi sampai keinginan untuk kemaslahatan ummat, tidak! Mereka hanya mencari sesuap nasi, seteguk air seumpamanya.

Sikap-sikap yang demikian itu memang seringkali kita jumpai dalam masyarakat. Saya punya contoh di alam nyata yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Berikut ini kisahnya:

Di sebuah dukuh tinggalah seorang anak muda yang cukup berada. Dia mempunyai usaha yang sudah mapan dan berkecukupan. Sebagaimana pepatah ada gula ada semut, maka banyak orang yang berkerumun ingin berteman dengannya. Hal itu disebabkan semata-mata karena tujuan agar kecipratan rejeki. Si anak muda tadi memang kurang berpendidikan sehingga walau cukup berada dia tidak awas dalam mengambil teman.

Suatu kali ada pemilihan kepala desa di wilayah itu. Segera saja orang-orang yang biasa berkerumun tersebut memuji-muji si anak muda tadi. Mengatakan bahwa engkau pantas menjadi Kades, pendukungmu banyak, tak ada lawan yang setara dengan kamu, kemampuanmu cukup mumpuni terbukti engkau sukses menjadi orang kaya.

Karena terus-menerus dikompori si anak muda akhirnya nggoling pendiriannya. Dia menjadi kumprung (sangat bodoh), pengung (hilang akal) dan bingung (tak tahu harus bagaimana). Dia menurut saja apa kata orang-orang disekitarnya dan menganggap hal itu sebagai kebenaran.

Karena terus menerus digunggung dia menjadi adigang, adigung dan adiguna. Dia meremehkan cakades lain sebagai calon yang tak semampu dia, sekuat dia dan sepintar dia. Padahal dari segi pendidikan dia paling rendah. Namun karena sudah tertutup pujian dan sanjungan dia lupa itu semua.

Ketika tiba di hari pencoblosan dia sangat terpukul. Perolehan suaranya tak seberapa, tak menyangka dia hanya mendapat simpati yang sangat minim. Semua itu karena dia terlalu percaya diri sehingga hilang kewaspadaan. Terlalu yakin menang hingga tak menyusun strategi mengalahkan lawan. Hancurlah dia dan orang-orang yang numpang hidup dengannya.

Reruba (menyuap, menjual) alaning (kelemahan) uwong (orang).  Dengan menjual kelemahan orang lain.

Reruba artinya besel atau suap, maksudnya adalah menyuap seseorang dengan pujian agar yang bersangkutan keluar uangnya, menjadi dermawan kepadanya. Seringkali hal demikian kita temui, seseorang yang memuji-muji dengan maksud agar yang dipuji menjadi gampang ditipu, dll.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/15/kajian-wulangreh-37-gunggung-nggendhong-pamrih/

Kajian Wulangreh (36): Ginunggung Dadi Kumprung

 Pada (bait) ke-36, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV

Yen wong anom iku,
kakehan panggunggung dadi kumprung.
Pengung bingung wekasane pan anggoling.
Yen ginunggung muncu-muncu,
kaya wudun meh mencothot.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jika pemuda terlalu banyak pujian,
maka ia menjadi sangat bodoh.
Seperti tak punya otak, tak tahu apa yang harus dikerjakan, akhirnya terguling.
Jika sedang dipuji monyong-monyong,
seperti bisul yang hampir pecah.

Kajian per kata:

Yen (kalau) wong (orang) anom (muda) iku (itu), kakehan (terlalu banyak) panggunggung (pujian) dadi (menjadi) kumprung (sangat bodoh). Jika pemuda terlalu banyak pujian, maka ia menjadi sangat bodoh.

Bait ini kelanjutan dari bait sebelumnya, menerangkan tentang sifat labil anak muda jika mendapat pujian. Jika terlalu banyak dipuji tidak menjadi mawas diri tetapi malah semakin menjadi-jadi. Seperti hilang semua pertimbangan, menjadi sangat bodoh, seolah tak tahu apa-apa, hanya mengiyakan saja segala pujian.

Pengung (bodoh, tak punya otak) bingung (tak tahu apa yang mesti dikerjakan) wekasane (akhirnya) pan anggoling (terguling). Seperti tak punya otak, tak tahu apa yang harus dikerjakan, akhirnya terguling.

Tak bisa berpikir waras, bingung tak tahu apa yang mesti dikerjakan, segala pertimbangan lenyap akhirnya terguling hidupnya. Tumbang dalam langkah yang sesat, segala keputusan yang diambil tanpa memperdulikan resiko dan kemampuan diri.

Yen (kalau) ginunggung (dipuji) muncumuncu (monyong, sangat penuh, hampir ambrol), kaya (seperti) wudun (bisul) meh (hampir) mencothot (pecah).

Seperti itulah anak muda, jika dipuji muncu-muncu. Ini adalah kata yang dipakai untuk menggambarkan mulut penuh makanan sehingga hampir tumpah ke luar. Keadaanya menggelembung mirip wudun (bisul besar) yang hampir pecah.

Anak muda memang seringkali mabuk pujian dan rakus sanjungan. Jika ada yang berkata baik tentang dirinya serta merta dianggap benar. Tak aneh anak muda yang kaya raya akan dikerubuti banyak penjilat, seperti gula dikerubuti semut. Mereka akan mengompor-kompori agar yang bersangkutan terlena. Di saat itulah kepentingan pribadi dari para penyanjung akan terpenuhi.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/15/kajian-wulangreh-36-ginunggung-dadi-kumprung/

Kajian Wulangreh (35): Kagunggung Kajalomprong

 Pada (bait) ke-35, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Tetelu nora patut,
yen tiniru mapan dadi luput.
Titikane wong anom kurang wewadi.
Bungah akeh wong kang nggunggung,
wekasane kajalomprong.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Ketiganya tidak patut kau tiru,
kalau kau tiru malah akibatnya akan buruk.
Ciri-ciri orang muda adalah tidak dapat menyimpan rahasia hati.
Senang (bila) banyak orang yang menyanjung,
 yang akhirnya menjerumuskan.

 Kajian per kata:

Tetelu (ketiganya) nora (tidak) patut (pantas), yen (jika) tiniru (ditiru) mapan (justru malah)  dadi (menjadi) luput (keliru). Ketiganya tidak patut kau tiru, kalau ditiru malah akibatnya akan buruk.

Bait ini masih melanjutkan bahasan tentan tiga watak buruk, adigang, adigung, adiguna. Tiga sifat yang sungguh-sungguh merugikan diri sendiri. Tiga watak tersebut sering diidap anak-anak muda yang belum berpengalaman dalam hidup, maka dalam beberapa bait Pupuh Gambuh ini dibahas panjang lebar, agar mendapat perhatian lebih.

Bagi anak-anak muda, hendaklah ingat tiga watak tersebut tak pantas ditiru. Kalau kau tiru akibatnya sangat buruk terhadap kehidupanmu. Meleset (luput) apa yang engkau cita-citakan, tak kesampaian apa yang engkau gapai. Hendaklah diingat baik-baik, karena orang muda sangat rawan disebabkan wataknya yang maih labil.

Titikane (ciri-ciri) wong (orang) anom (muda) kurang (kurang) wewadi (menyimpan rahasia hati). Ciri-ciri orang muda adalah tidak dapat menyimpan rahasia hati.

Ciri-ciri orang muda itu tidak pandai menyimpan apa isi hati. Apa yang membuatnya senang atau susah kelihatan amat jelas. Hatinya juga masih membutuhkan dukungan orang di sekitarnya. Jika orang di sekitarnya bilang bagus, maka ikutlah dia bilang bagus. Jika orang di sekitarnya bilang jelek, jeleklah ia bilang juga. Hatinya masih labil  dan gampang berbolak-balik.

Ini kontras dengan orang tua-tua yang sudah kenyang dengan pengalaman hidup. Dia tak butuh lagi sanjungan atau pujian orang hanya agar hatinya senang. Dia sanggup menilai, menimbang dan memutuskan secara mandiri langkah apa yang tepat bagi dirinya, hal apa yang terbaik baginya.

Bungah (senang) akeh (banyak) wong (orang) kang (yang) nggunggung (menyanjung), wekasane (akhirnya) kajalomprong (terjerumus). Senang (bila) banyak orang yang menyanjung, yang akhirnya menjerumuskan.

Sementara orang muda (atau orang tua yang tak dewasa) akan sangat senang dengan sanjungan orang lain. Jika orang lain mengatakan : “Kamu hebat!” Besarlah kepalanya. Semakin menjadi-jadilah ia. Emosi yang masih labil dan bersandar pada pendapt orang inilah yang membuat dia rawan bersikap kurang tepat. Hanya demi meraih pujian dia tergoda untuk memamerkan kelebihannya. Dari celah itulah tiga watak buruk tadi masuk, hingga dia terjerumus dalam lingkaran kesombongan: adigang, adigung, adiguna. Maka hendaklah selalu waspada!

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/15/kajian-wulangreh-35-kagunggung-kajalomprong/

Kajian Wulangreh (34): Lena Temah Lampus

 Pada (bait) ke-34, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Dene tetelu iku,
si kidang suka ing panitipun.
Pan si gajah alena patinireki.
Si ula ing patinipun,
ngandelaken upase mandos.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Maka dari ketiganya itu,
si kijang dalam kegembiraan ketika matinya.
Si gajah mati teledor hingga ajalnya.
Sedangkan ular matinya,
karena terlalu mengandalkan keganasan bisanya.

Kajian per kata:

Dene (maka) tetelu (ketiga) iku (itu), si kidang (si kijang) suka (dalam kegembiraan) ing (ketika) panitipun (matinya). Maka dari ketiganya itu, si kijang dalam kegembiraan ketika matinya.

Masih melanjutkan bahasan tentang tiga watak buruk yang mencelakakan. Si kijang sebagai kiasan watak adigang tadi karena lalai hilang kewaspadaan akan mati dalam keadaan tidak menyangka sama sekali. Dia akan mati ketika sedang berlarian ke sana kemari dengan lincahnya, seakan marabahaya tak menjangkaunya. Dia lupa bahwa musuh-musuhnya senantiasa mengancam dan menunggu saat yang tepat. Ketika dia lalai sedikit saja, habislah nasibnya.

Pan (kalau) si gajah (si gajah) alena (teledor) patinireki (ajalnya). Si gajah mati teledor hingga ajalnya.

Si gajah akan mati karena keteledorannya. Saat ia mengira takkan ada yang mampu mengalahkan kewaspadaannya menurun. Di saat itulah musuh menyerang tanpa ampun dengan membawa penuh dendam kesumat. Sebagai pelampiaan akumulasi hinaan yang telah ia terima, musuh-musuhnya akan menyerang dengan ganas tanpa memberi kesempatan padanya.

Si ula (si ular) ing patinipun (matinya), ngandelaken (terlalu mengandalkan) upase (bisanya) mandos (yang ganas). Sedangkan ular matinya, karena terlalu mengandalkan keganasan bisanya.

Si ular pun bernasib sama, terlalu umuk memamerkan bisanya yang ganas membuat musuh-musuhnya waspada dan mempelajari kelemahannya. Di situlah kemudian mereka menyerang dengan serangan yang mematikan.

Dari ketiga tamsil kehidupan di atas, ketiganya menemui ajal ketika kewaspadaan hilang. Ketika mereka meremehkan musuh, maka musuh semakin mengasah kemampuan dan mencari strategi. Di situlah terlihat siapa sebenarnya yang lebih piawai dalam bertarung. Yang lalai dan teledor akan dihabisi.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/15/kajian-wulangreh-34-lena-temah-lampus/

Kajian Wulangreh (33): Rereh, Ririh, Ngati-ati

 Pada (bait) ke-33, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Ing wong urip puniku,
aja nganggo ambek kang tetelu.
Anganggowa rereh ririh ngati-ati.
Den kawangwang barang laku,
kang waskitha solahing wong.

 Terjemahan bahasa Indonesia:

Dalam hidup seseorang itu,
jangan kau melakukan tiga watak tersebut.
Berlakulah sabar, cermat, dan hati-hati.
Diperhatikan dengan seksama dalam sembarang tindak-tanduk,
yang tajam dalam mengamati perilaku orang lain.

 Kajian per kata:

Ing (dalam) wong (orang) urip (hidup) puniku (itu), aja (jangan) nganggo (memakai, melakukan) ambek (watak) kang (yang) tetelu (tiga itu). Dalam hidup seseorang itu, jangan kau melakukan tiga watak tersebut.

Bait ini merujuk kepada bait sebelumnya tentang tiga watak buruk yang mencelakakan: adigang,  adigung dan adiguna. Dalam hidup seseorang jangan sampai mengidap watak ketiganya itu. Mengenai buruknya tiga watak sudah dibahas dalam kajian sebelumnya. Bait ini menegaskan jangan sampai kita terkena tabiat buruk tersebut, tetapi upayakan agar mempunyai watak sebaliknya.

Anganggowa (berlakulah) rereh (pelan-pelan, sabar) ririh (halus, cermat) ngatiati (hati-hati). Berlakulah sabar, cermat, dan hati-hati.

Pakailah sifat sabar dalam segala tindakan, cermat dalam berbuat dan berhati-hati dalam melangkah. Ini adalah langkah awal agar kita terhindar dari tiga watak buruk tadi. Apabila kita ingin menghindar dari sifat buruk, maka pakailah sifat lawannya.

 Adigang, adigung dan adiguna timbul karena kurangnya pengendalian diri, maka sebagai penawarnya bertindaklah pelan-pelan agar diri terkontrol. Cermat dalam berbuat, tidak grusa-grusu (tak pakai pedoman), gegabah atau kemrungsung (tergesa-gesa). Juga harus penuh pertimbangan sebelum melangkah, hati-hati agar tidak terpeleset dalam tindak angkara.

Den (di) kawangwang (melihat dengan seksama) barang (sembarang) laku (tindak-tanduk), kang (yang) waskitha (tajam dalam mengamati) solahing (perilaku) wong (orang). Diperhatikan dengan seksama dalam sembarang tindak-tanduk, yang tajam dalam mengamati perilaku orang lain.

Kawangwang adalah melihat dengan seksama, detail sampai jelas. Artinya memperhatikan dengan seksama setiap perbuatan, setiap tindak-tanduk, perilaku kita. Selain itu juga harus waskitha, yakni tajam penglihatan atas perilaku orang lain. Boleh jadi orang lain menunjukkan gestur tak suka terhadap tindak-tanduk kita, maka ubahlah agar tidak menyakiti mereka. Asal bukan dalam soal yang prinsip, seyogyanya kita berusaha menyenangkan orang lain, membuat nyaman mereka yang bergaul dengan kita. Hal ini memerlukan pengamatan yang jeli agar perilaku kita dapat kita kontrol.

Inti dari penawar tiga sifat buruk tadi adalah menghargai orang lain. Apa yang kita tidak suka dari perlakuan orang, maka hendaklah kita tidak melakukan juga kepada orang lain. Inilah yang namanya tepa slira, yang bermakna berusaha menerapkan suatu perbuatan kepada diri sendiri sebelum melakukan kepada orang lain.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/14/kajian-wulangreh-33-rereh-ririh-ngati-ati/

Kajian Wulangreh (28:32): Adigang, Adigung dan Adiguna

 Pada (bait) ke-28 sampai 32, Pupuh ke-3 Gambuh, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Kami harus menyatukan kajian 5 bait ini agar kesatuan makna tetap terjaga karena tiga istilah di atas seringkali dipakai secara bersamaan. Alasan lain adalah pembahasan ciri-ciri masing-masing watak tersebut saling berkaitan sehingga sulit dipisahkan. Bahkan watak adigang dan adigung mempunya ciri-ciri yang saling tindih. Kami mohon maaf jika kajian ini menjadi terlalu panjang untuk dibuka di HP.

Ana pocapanipun,
adiguna adigang adigung.
Pan adigang kidang adigung pan esthi,
adiguna ula iku.
Telu pisan mati sampyuh.

Si kidang ambegipun,
angandelaken kebat lumpatipun.
Pan si gajah angandelken gung ainggil,
Ula ngandelaken iku,
mandine kalamun nyakot.

Iku upamanipun,
aja ngandelaken sira iku,
suteng nata iya sapa kumawani,
Iku ambeke wong adigang.
Ing wasana dadi asor.

Adiguna puniku,
ngandelaken kapinteranipun.
Samubarang kabisan dipun dheweki,
sapa bisa kaya ingsun,
Toging prana nora enjoh.

 Ambek adigung iku,
angungasaken ing kasuranipun.
Para tantang candhala anyenyampahi.
T
inemenan nora pecus,
satemah dadi geguyon

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Ada istilah yang berbunyi adiguna, adigang, adigung, Adigang dikiaskan seperti kijang,adigung dikiaskan seperti gajah, adiguna adalah ular. Tiga sekalian mati bersamaan.

 Si kijang wataknya mengandalkan kecepatan melompatnya. Kalau si gajah mengandalkan tubuh yang besar dan tinggi. Ular mengandalkan sesuatu, yakni ampuhnya racun ketika menggigit.

Perumpamaannya seperti itulah. Maka janganlah mengandalkan bahwa engkau anak raja hingga tak ada yang berani.  Yang demikian itu adalah adigangPada akhirnya hanya akan menjadi rendah derajatnya.

 Adiguna adalah mengandalkan kepintaran.  Sembarang ketrampilan diaku sendiri seolah pamer, siapa sih yang bisa seperi saya?  Jika kepentok keadaan akhirnya tak mampu.

Watak adigung yaitu memamerkan dalam hal ketangguhanBanyak orang ditantang berkelahi, berwatak buruk dan suka mencaci makiKetika diladeni sungguhan dia tak becus, akhirnya menjadi bahan tertawaan.

 Kajian per kata:

Ana (ada) pocapanipun (istilah), adiguna adigang adigungAda istilah adiguna, adigang dan adigung.

Istilah di atas sering dipakai secara bersamaan untuk menyebut perilaku buruk yang kerap mengidap orang-orang tertentu yang biasanya mempunyai posisi dalam masyarakat.  Artinya bukan orang sembarangan.

pan (yang) adigang (adigang) kidang (kijang) adigung (adigung) pan (itulah) esthi (gajah), adiguna (adiguna) ula (ular) iku (itulah). Adigang dikiaskan seperti kijang, adigung dikiaskan seperti gajah, adiguna adalah ular.

 Tiga hewan tersebut adalah kiasan bagi tiga watak buruk yang sering mengidap orang-orang tertentu. Seperti yang telah kami singgung di atas bahwa pengidap sifat buruk tersebut bukanlah sembarang orang melainkan orang-orang yang mempunyai kelebihan tetapi seringkali menyombongkan diri.

Telu (tiga) pisan (sekalian) mati (mati)  sampyuh (bersamaan). Tiga sekalian mati bersamaan.

Kata sampyuh sering dipakai untuk menggambarkan sebuah akhir pertarungan yang seimbang sehingga kedua pihak mati bersamaan, tidak ada yang menang. Namun dalam gatra ini sampyuh bermakna tiga hewan (dan juga manusia) yang memelihara tiga sifat buruk itu akan sama-sama menemui celaka akibat sifat buruknya.

Si kidang (si kijang) ambegipun (wataknya, sifatnya, kelakuannya), angandelaken (mengandalkan) kebat (kecepatan) lumpatipun (melompatnya). Si kijang wataknya mengandalkan kecepatan melompatnya.

Kijang adalah hewan yang sangat gesit dan dapat melompat jauh. Meski kecil tenaganya sangat kuat, gerakannya sangat cepat. Berkesan hewan yang sangat tangkas dan terampil dalam bergerak. Dapat bermanuver dengan lincah.

Adigang dikiaskan sebagai kijang artinya orang yang adigang adalah orang yang menyombongkan ketrampilannya, kemampuannya, atau kekuasaannya atau kesaktiannya.

Pan (kalau) si gajah (si gajah) angandelken (mengandalkan) gung (tubuh besar) ainggil (dan tinggi). Kalau si gajah mengandalkan tubuh yang besar dan tinggi.

Gajah merupakan hewan yang besar dan juga kuat, namun gerakannya tak lincah seperti kijang. Berkesan sebagai hewan yang kuat dan pasti akan menang jika bertarung karena besarnya. Adigung dikiaskan dengan gajah artinya orang yang adigung adalah orang yang menyombongkan kekuatan dan kebesarannya.

Ula (ular) ngandelaken (mengandalkan) iku (sesuatu), mandine (bisanya kuat) kalamun (ketika) nyakot (menggigit). Ular mengandalkan sesuatu, yakni ampuhnya racun ketika menggigit.

Bisa racun dapat melumpuhkan musuh dalam sekejap. Beberapa ular sanggup meracuni binatang yang jauh lebih besar dengan akibat fatal. Sangat berbahaya. Adiguna dikiaskan sebagai ular artinya menyombongkan sesuatu yang keluar dari lidahnya, dalam konteks manusia adalah perkataannya atau ilmunya.

Iku (itulah) upamanipun (perumpamaannya), aja (janganlah) ngandelaken (mengandalkan) sira(engkau)  iku (itu), suteng (anak) nata (raja) iya (iya) sapa (siapa) kumawani (yang berani). Perumpamaannya seperti itulah. Maka janganlah mengandalkan bahwa engkau anak raja hingga tak ada yang berani.

Sudah menjadi jamak lumrah atau kelaziman jika anak pejabat mengandalkan kedudukan orangtuanya. Mereka mengira akan mendapat perlindungan sehingga seringkali menabrak hukum yang berlaku, meremehkan sesamanya dan kurang menghargai kemampuan orang lain.

Iku (yang demikian itu) ambeke (sifatnya) wong (orang) adigang (adigang). Yang demikian itu adalah adigang.

Itulah watak adigang, menyombongkan kedudukan, kekuasaan politik dan posisi sosialnya. Kelebihan yang ada padanya bukan dipakai untuk melindungi sesama, tetapi malah berkesan pongah dan berlagak.

Ing (pada) wasana (akhirnya) dadi (menjadi) asor (rendah). Pada akhirnya hanya akan menjadi rendah derajatnya.

Jika engkau berlagak demikian bukan rasa hormat yang kau peroleh, melainkan justru kehinaan. Bukan pujian yang akan dituai, melainkan cacian dan hujatan.

Adiguna (adiguna) puniku (adalah), ngandelaken (mengandalkan) kapinteranipun (kepintaran). Adiguna adalah mengandalkan kepintaran.

Inilah yang dikiaskan sebagai ular. Kelebihannya ada pada mulutnya, sama halnya manusia kelebihan terletak pada bicaranya atau ilmu yang dia miliki. Apabila dipakai untuk menyombongkan diri dengan meremehkan orang lain juga tidak baik.

Samubarang (Sembarang) kabisan (ketrampilan atau ilmu) dipun (dia) dheweki (aku sendiri), sapa (siapa) bisa (yang bisa) kaya (seperti) ingsun (saya). Sembarang ketrampilan diaku sendiri seolah pamer siapa sih yang bisa seperi saya?

Over acting dalam bertindak, semua hendak dilakukan seolah hanya dia sendiri yang bisa melakukan itu. Ini sikap pamer yang bercampur meremehkan orang lain. Serba tak puas dengan kerja orang lain sehingga mau dikerjakan sendiri.

Toging (kepentok) prana (keadaan) nora (tidak) enjoh (mampu). Jika kepentok keadaan akhirnya tak mampu.

Tidak ada orang yang berkemampuan super sanggup mengerjakan segala hal sendirian. Kita perlu bekerja sama agar hasil yang dicapai sempurna. Jika meremehkan orang lain dan hendak mengerjakan sendiri segala hal, pastilah tak mampu.

Ambek (watak) adigung (adigung) iku (yaitu),  angungasaken (memamerkan)  ing (dalam hal) kasuranipun (ketangguhan). Watak adigung yaitu memamerkan dalam hal ketangguhan.

Pamer kekuatan seolah tak ada yang mampu melawan. Bersikap congkak seolah-olah sudah akan menang. Meremehkan lawan dengan menghina kemampuannya. Petentang-petenteng seolah tak terkalahkan.

Para (orang banyak) tantang (ditantang) candhala (berwatak jahat) anyenyampahi (suka mencaci). Banyak orang ditantang berkelahi, bertwatak buruk dan suka mencaci maki.

Kesana kemari menantang orang banyak, berwatak buruk karena merasa tak bakal ada yang berani, suka mencaci maki orang lain.

Tinemenan (ketika diladeni sungguhan) nora (tidak) pecus (becus, tidak bisa), satemah (akhirnya) dadi (menjadi) geguyon (tertawaan). Ketika diladeni sungguhan dia tak becus, akhirnya menjadi bahan tertawaan.

Ketika diladeni dengan sungguh-sungguh dia tak seperti yang dikatakan. Ada contoh bagus di dunia nyata tentang watak adigung ini:

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/14/kajian-wulangreh-2832-adigang-adigung-dan-adiguna/

KANCIL KANG PADHA MIRIS