Selasa, 07 Mei 2024

Kajian Wulangreh (61:62): Tan Manut Bakal Duraka

 Pada (bait) ke-61 sampai 62, Pupuh ke-5 Maskumambang, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi,
pan nemu duraka,
ing dunya praptaning akhir,
tan wurung kasurang-surang.

 Maratani mring anak putu ing wuri,
den padha prayitna,
aja sira kumawani,
ing bapa tanapi biyang.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang yang tidak menurut nasihat orang tua,
itu durhaka.
Di dunia sampai akhirat,
akan menemui celaka yang beruntun.

Merata hingga ke anak-cucu hingga waktu di belakang nanti.
Oleh karena itu semua harap diperhatikan,
jangan sampai berani kurang ajar,
kepada ayah dan ibu.

 

 Kajian per kata:

Wong (orang) tan (tak) manut (menurut) pitutur (nasihat) wong (orang) tuwa (tua) ugi (juga), pan (akan) nemu (betemu, disebut) duraka (durhaka). Orang yang tidak menurut nasihat orang tua itu durhaka.

Pada bait sebelumnya telah diuraikan bahwa orang tua menempati prioritas dalam hal didengar perkataannya. Apabila mereka memberi nasihat yang baik maka wajib bagi kita untuk mengikuti dan memprioritaskannya melebihi pendapat orang lain. Apabila kita tidak menuruti nasihat baik orang tua, dan bahkan menentang, kita adalah anak durhaka.

Ing (di) dunya (dunia) praptaning (sampai) akhir (akhirat), tan (tak) wurung (urung) kasurangsurang (celaka yang beruntun). Di dunia sampai akhirat akan menemui celaka yang beruntun.

Konsekuensi dari sikap durhaka adalah celaka dalam hidupnya, serba ditimpa kemalangan yang tak henti-henti. Semua serba sulit baginya, jika bekerja sulit berhasil, jadi pegawai tak naik-naik pangkat, jika berdagang tak untung-untung. Semua itu karena apa yang dilakukannya tanpa restu dan doa orang tuanya, tanpa keridhaan hati mereka. Hal ini akan terasa mengganjal di hati pelaku, dan tak membuat susah orang tua. Akibatnya semua yang dilakukan terasa berat. Mungkin hal inilah yang membuat semua menjadi serba sulit.

Doa orang lain terhadap kita adalah juga sebuah dukungan yang luar biasa efeknya, maka jika melakukan sesuatu tak ada salahnya mohon ijin, restu dan doa dari orang yang kita kenal, agar hati mereka nyaman dan doa akan terpanjatkan untuk kita. Terlebih-lebih terhadap orang tua, mereka mempunyai otoritas untuk mengatur hidup kita, maka doa dan restunya amat penting untuk keberhasilan kita kelak. Jika orang tua sudah ridha terhadap apa yang kita lakukan, Insya Allah yang dilangit pun akan meridhai kita.

 Maratani (merata) mring (hingga ke) anak (anak) putu (cucu) ing wuri (dibelakang nanti). Merata hingga ke anak-cucu hingga waktu di belakang nanti.

Kemalangan yang kita terima akan terus berlanjut kalau restu orang tua belum kita dapat. Bahkan akan menjadi batu sandungan sampai ke anak-cucu. Hal ini berkaitan dengan syafa’at (pertolongan dari Allah) yang akan terputus jika kita sampai menentang orang tua. Karena orang tua adalah wakil Tuhan, Allah SWT, dalam merawat kita.

Marilah kita sedikit melebar agar mendapat gambaran yang lebih utuh tentang hal ini. Manusia pda dasarnya adalah khalifah Allah di bumi, arti khalifah itu sendiri dalam hal ini adalah pengganti. Apa saja peran Allah yang digantikan oleh manusia? Saya tidak ingin berpanjang lebar membahas itu, saya fokuskan pada satu hal saja yakni peran Allah sebagai Rabb, pemelihara. Peran ini sangat apik digantikan oleh manusia melalui pemeliharaan terhadap anak-anak mereka.

Manusia berbeda dengan kambing dan sapi yang sesaat setelah lahir sudah bisa berlarian kemana-mana. Manusia lemah dan tak bisa apa-apa ketika lahir, maka orang tualah yang menjadi pemelihara bagi mereka. Karena itulah orang tua adalah pengganti Tuhan.

Den (oleh) padha (sama-sama, semua, siapa saja) prayitna (harap diperhatikan), aja (jangan) sira (engkau) kumawani (berani, kurang ajar), ing (kepada) bapa (ayah) tanapi (dan) biyang (ibu). Oleh karena itu semua harap diperhatikan, jangan sampai berani kurang ajar, kepada ayah dan ibu.

Oleh karena itu kepada siapa saja hendaknya memperhatikan hal ini, jangan sampai engkau berani kurang ajar kepada mereka. Turutilah nasihatnya yang baik, jangan berselisih tentang perkara-perkara yang tidak perlu. Bilamana ada ketidakcocokan tidak perlu diungkapkan dengan perkataan kasar. Bilamana mereka telah tua dan membutuhkan pertolongan dalam hidup jangan sampai kita bersikap kurang manis, menunjukkan raut muka yang masam, sampai-sampai mengeluarkan perkataan bernada keluhan. Itulah bakti anak kepada orang tua yang selalu harus diperdi dan dipersudi.

Kami cukupkan sekian dahulu kajian serat Wulangreh tentang topik ini. Semoga memberi manfaat bagi yang berkenan membacanya. Dan semoga rezeki Anda sekalian lancar atas bakti yang Anda lakukan untuk  kemanusiaan.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/21/kajian-wulangreh-6162-tan-manut-bakal-duraka/

Kajian Wulangreh (58:60): Kang Becik Estokena

 Kita sudah masuk dalam Pupuh Maskumambang. Tembang ini mempunyai 4 gatra setiap baitnya. Karena tembang Maskumambang ini relatif pendek, maka kajian akan mengambil beberapa bait sekaligus sesuai kesatuan makna yang dicakup dalam bait-bait tersebut.

Pada (bait) ke-58 sampai 60, Pupuh ke-5 Maskumambang, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV..

Nadyan silih bapa biyung kaki nini,
sadulur myang sanak,
kalamun muruk tan becik,
nora pantes yen den nuta.

Apan kaya mangkono karepaneki,
sanadyan wong liya,
kalamun watake becik,
miwah tindake prayoga.

Iku pantes yen sira tiruwa ta kaki.
Miwah bapa biyung,
amuruk watek kang becik,
iku kaki estokena.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Walaupun ayah, ibu, kakek, nenek,
saudara dan seketurunan,
kalau mengajarkan hal yang tak baik,
tidak pantas kalau diikuti.

Memang seperti itulah yang seharusnya.
Sebaliknya, walaupun orang lain,
ada yang wataknya baik,
dan kelakuannya utama.

Yang demikian itu, pantas engkau ikuti, Nak.
Serta ayah ibu,
jika mengajarkan watak yang baik,
itulah Nak, yang harus kau ikuti.

 

Kajian per kata:

Nadyan silih (walaupun) bapa (bapak) biyung (ibu) kaki (kakek) nini (nenek), sadulur (saudara) myang (dan) sanak (seketurunan), kalamun (jika) muruk (mengajarkan) tan (yang tak) becik (baik), nora (tidak) pantes (pantas) yen (kalau) den (di) nuta (diikuti). Walaupun ayah, ibu, kakek, nenek, saudara dan seketurunan, kalau mengajarkan hal yang tak baik, tidak pantas kalau diikuti.

Hal tak baik yang dimaksud adalah perkara yang jelas-jelas dilarang oleh agama, atau perkara-perkara yang jelas-jelas kejahatannya, yang tiada keraguan lagi. Sesungguhnya ketaatan kepada manusia adalah bukan pada perkara-perkara yang munkar.

Ini berbeda jika yang diajarkan adalah perkara yang belum jelas benar tentang baik-buruknya, sekedar keraguan atau mengenai perbedaan pendapat. Misalnya seseorang berpendapat bahwa perbuatan tertentu tidak mengapa jika dilakukan, tetapi ayah dari orang tersebut berpendapat bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan. Jadi dalam perkara itu belum jelas dan terang tentang benar dan salahnya.

Dalam perkara seperti ini tentu harus dilihat terlebih dahulu dari sisi manfaat dan mudharatnya, apakah perlu mengikuti pendapat orang tua dan kerabat atau tidak. Tetapi setiap pendapat atau nasihat dari orang dekat harus selalu didengar sebagai bahan pertimbangan. Meski dalam memutuskan tetap harus mandiri, karena setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan secara sendiri-sendiri pula.

Apan (memang) kaya (seperti) mangkono (itulah) karepaneki (yang engkau kehendaki), sanadyan (walaupun) wong (orang) liya (lain), kalamun (kalau) watake (wataknya) becik (baik), miwah (serta) tindake (kelakuannya) prayoga (utama). Memang seperti itulah yang seharusnya. Sebaliknya, walaupun orang lain, ada yang wataknya baik dan kelakuannya utama.

Itulah (paragraf sebelumnya) prinsip dari perbuatan manusia, maka hendaklah bersikap seperti itu. Bahwa yang jelas tidak baik dari mana datangnya tidak perlu diikuti. Namun sering kita melihat perkara-perkara baik, watak dan perbuatan baik yang ada pada orang lain. Entah orang itu kita kenal dan sengaja menasihati kita, atau kita hanya sekedar melihatnya saja.

Iku (itu) pantes (pantas) yen (kalau) sira (engkau) tiruwa (contoh) ta kaki (anakku). Yang demikian itu, pantas engkau ikuti, anakku.

Terhadap perbuatan baik, entah dilakukan siapa saja, maka ikutilah wahai anak-anak muda! Yang demikian itu pantas dan tidak melanggar tatakrma, juga tidak melanggar larangan agama, bahkan menjadi sesuatu yang baik. Tentu saja perbuatan baik di sini adalah perbuatan yang jelas-jelas terang kebaikannya, bukan sekedar perbedaan pendapat saja.

Miwah (serta) bapa (ayah)  biyung (ibu), amuruk (yang mengajarkan) watek (watak) kang (yang) becik (baik), iku (itulah) kaki (nak) estokena (harus kau ikuti). Serta ayah ibu, jika mengajarkan watak yang baik, itulah Nak, harus kau ikuti.

Sedangkan dalam hal-hal yang belum jelas benar dan salahnya, tepat atau tidak tepat suatu tindakan, apabila kita lebih memilih pendapat orang tua yang demikian itu tidak salah. Asalkan tetap harus diingat bahwa prinsip dari perbuatan adalah: si pelaku mempertanggungjawabkan secara mandiri setiap perbuatannya.

Namun apabila yang mengajarkan kebaikan adalah ayah-ibu maka harus diikuti. Ayah dan ibu menempati posisi yang prioritas dalam hal perintah dan larangan. Jika yang diajarkan baik mengikutinya adalah sebuah kebaikan yang besar.

Demikian kajian kita pada awal Pupuh Maskumambang ini. Bait-bait selanjutnya masih akan membahas tentang siapa saja yang harus diikuti perkataannya dan mengapa kita perlu melakukannya. Itu adalah nasihat-nasihat yang agung. Jangan sampai ketinggalan.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/21/kajian-wulangreh-58-kang-becik-estokena/

Kajian Wulangreh (61:62): Tan Manut Bakal Duraka

  Pada   (bait) ke-61 sampai 62, Pupuh ke-5 Maskumambang, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Wong tan manut pitutur wong t...