Pada (bait) ke-48, Pupuh ke-4 Pangkur, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
Tinitik ing solah muna,
lawan muni ing laku lawan linggih.
Iku panengeran agung,
winawas ginrahita.
Pramilane ing wong kuna-kuna iku,
yen amawas ing sujanma,
datan kongsi mindho gaweni.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dikenali dari pembawaan,
cara bicara dalam tindak-tanduk dan adab sehari-hari.
Itu adalah cara mengenali yang akurat,
dilihat dan dirasakan dengan hati.
Maka dari itu orang-orang jaman dahulu kala,
yang selalu awas dalam menilai seseorang,
penilainya tidak pernah meleset.
Kajian per kata:
Tinitik (dikenali) ing (pada) solah (pembawaan) muna (bicara), lawan (dan) muni (bicara) ing (pada) laku (tindak-tanduk) lawan (dan) linggih (adab). Dikenali dari pembawaan, cara bicara dalam tindak-tanduk dan adab sehari-hari.
Bait ini menegaskan apa yang sudah diuraikan pada bait-bait sebelumnya bahwa akhlak seseorang dikenali dari perbuatannya sehari-hari. Hal ini berlaku pada semua orang, baik orang pintar, bodoh, ulama, ahli maksiyat, orang kaya, orang miskin, maupun orang-orang yang sudah mencapai taraf sempurna ilmunya.
Apa yang disampaikan di sini sebenarnya adalah penegasan bahwa jika akhlak seseorang itu baik maka perbuatannya pun akan baik, dan sebaliknya. Watak seseorang tak bisa disembunyikan setidaknya dalam tempo yang lama.
Iku (itu) panengeran (pengenalan) agung (besar, maksudnya tepat, akurat), winawas (dilihat) ginrahita (dirasakan dengan hati). Itu adalah cara mengenali yang akurat, dilihat dan dirasakan dengan hati.
Ginrahita adalah dirasakan dengan hati/batin. Panggrahita adalah kesan yang muncul dalam hati apabila kita melihat sesuatu. Jadi sebenarnya perasaan kita apabila melihat tindak-tanduk, adab dan tabiat seseorang pasti dalam hati kecil muncul kesan tentang orang tersebut. Apabila kita teliti dan cermat maka penilaian kita tentang orang itu takkan meleset.
Karena yang sebenarnya menyembunyikan suatu watak itu sungguh sangat sulit, pasti ada celah untuk dikenali. Hanya saja kita kadang kurang awas dan terlalu percaya (husnudzan) sehingga tidak cermat menilai. Dan orang-orang kebanyakan juga tidak selalu pasang aksi mencurigai (su’udzan) kepada orang lain atau paranoid, sehingga sering tidak waspada.
Pramilane (maka dari itu) ing (pada diri) wong (orang) kuna–kuna(dahulu kala) iku (itu), yen (kalau) amawas (menilai) ing (pada diri) sujanma (seseorang), datan (tidak) kongsi (sampai) mindho (mengulang dua kali) gaweni (melakukan). Maka dari itu orang-orang jaman dahulu yang selalu awas dalam menilai seseorang, penilainya tidak pernah meleset.
Mindho gaweni adalah istilah untuk suatu pekerjaan yang dikerjakan secara tidak sempurna sehingga harus diulang lagi. Dalam kalimat di atas orang-orang jaman dahulu kala kalau menilai seseorang pasti pas, sesuari tidak mindho gaweni, artinya penilaiannya tepat.
Bait-bait yang sudah kita kaji dalam Pupuh Pangkur memang terkesan menonjolkan paparan tentang kewaspadaan pada sifat buruk manusia. Hal ini karena memang Serat Wulangreh adalah pesan piwulang untuk generasi muda. Mereka perlu dikenalkan dengan aneka sifat jahat agar timbul kewaspadaan pada diri mereka. Karena sesungguhnya sifat jahat itu seperti racun, jika mengenai jiwa akan sulit untuk membasuhnya. Ibarat pepatah, nila setitik rusak susu sebelanga.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/18/kajian-wulangreh-48-panengeran-agung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar