Selasa, 07 Mei 2024

Kajian Wulangreh (61:62): Tan Manut Bakal Duraka

 Pada (bait) ke-61 sampai 62, Pupuh ke-5 Maskumambang, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi,
pan nemu duraka,
ing dunya praptaning akhir,
tan wurung kasurang-surang.

 Maratani mring anak putu ing wuri,
den padha prayitna,
aja sira kumawani,
ing bapa tanapi biyang.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang yang tidak menurut nasihat orang tua,
itu durhaka.
Di dunia sampai akhirat,
akan menemui celaka yang beruntun.

Merata hingga ke anak-cucu hingga waktu di belakang nanti.
Oleh karena itu semua harap diperhatikan,
jangan sampai berani kurang ajar,
kepada ayah dan ibu.

 

 Kajian per kata:

Wong (orang) tan (tak) manut (menurut) pitutur (nasihat) wong (orang) tuwa (tua) ugi (juga), pan (akan) nemu (betemu, disebut) duraka (durhaka). Orang yang tidak menurut nasihat orang tua itu durhaka.

Pada bait sebelumnya telah diuraikan bahwa orang tua menempati prioritas dalam hal didengar perkataannya. Apabila mereka memberi nasihat yang baik maka wajib bagi kita untuk mengikuti dan memprioritaskannya melebihi pendapat orang lain. Apabila kita tidak menuruti nasihat baik orang tua, dan bahkan menentang, kita adalah anak durhaka.

Ing (di) dunya (dunia) praptaning (sampai) akhir (akhirat), tan (tak) wurung (urung) kasurangsurang (celaka yang beruntun). Di dunia sampai akhirat akan menemui celaka yang beruntun.

Konsekuensi dari sikap durhaka adalah celaka dalam hidupnya, serba ditimpa kemalangan yang tak henti-henti. Semua serba sulit baginya, jika bekerja sulit berhasil, jadi pegawai tak naik-naik pangkat, jika berdagang tak untung-untung. Semua itu karena apa yang dilakukannya tanpa restu dan doa orang tuanya, tanpa keridhaan hati mereka. Hal ini akan terasa mengganjal di hati pelaku, dan tak membuat susah orang tua. Akibatnya semua yang dilakukan terasa berat. Mungkin hal inilah yang membuat semua menjadi serba sulit.

Doa orang lain terhadap kita adalah juga sebuah dukungan yang luar biasa efeknya, maka jika melakukan sesuatu tak ada salahnya mohon ijin, restu dan doa dari orang yang kita kenal, agar hati mereka nyaman dan doa akan terpanjatkan untuk kita. Terlebih-lebih terhadap orang tua, mereka mempunyai otoritas untuk mengatur hidup kita, maka doa dan restunya amat penting untuk keberhasilan kita kelak. Jika orang tua sudah ridha terhadap apa yang kita lakukan, Insya Allah yang dilangit pun akan meridhai kita.

 Maratani (merata) mring (hingga ke) anak (anak) putu (cucu) ing wuri (dibelakang nanti). Merata hingga ke anak-cucu hingga waktu di belakang nanti.

Kemalangan yang kita terima akan terus berlanjut kalau restu orang tua belum kita dapat. Bahkan akan menjadi batu sandungan sampai ke anak-cucu. Hal ini berkaitan dengan syafa’at (pertolongan dari Allah) yang akan terputus jika kita sampai menentang orang tua. Karena orang tua adalah wakil Tuhan, Allah SWT, dalam merawat kita.

Marilah kita sedikit melebar agar mendapat gambaran yang lebih utuh tentang hal ini. Manusia pda dasarnya adalah khalifah Allah di bumi, arti khalifah itu sendiri dalam hal ini adalah pengganti. Apa saja peran Allah yang digantikan oleh manusia? Saya tidak ingin berpanjang lebar membahas itu, saya fokuskan pada satu hal saja yakni peran Allah sebagai Rabb, pemelihara. Peran ini sangat apik digantikan oleh manusia melalui pemeliharaan terhadap anak-anak mereka.

Manusia berbeda dengan kambing dan sapi yang sesaat setelah lahir sudah bisa berlarian kemana-mana. Manusia lemah dan tak bisa apa-apa ketika lahir, maka orang tualah yang menjadi pemelihara bagi mereka. Karena itulah orang tua adalah pengganti Tuhan.

Den (oleh) padha (sama-sama, semua, siapa saja) prayitna (harap diperhatikan), aja (jangan) sira (engkau) kumawani (berani, kurang ajar), ing (kepada) bapa (ayah) tanapi (dan) biyang (ibu). Oleh karena itu semua harap diperhatikan, jangan sampai berani kurang ajar, kepada ayah dan ibu.

Oleh karena itu kepada siapa saja hendaknya memperhatikan hal ini, jangan sampai engkau berani kurang ajar kepada mereka. Turutilah nasihatnya yang baik, jangan berselisih tentang perkara-perkara yang tidak perlu. Bilamana ada ketidakcocokan tidak perlu diungkapkan dengan perkataan kasar. Bilamana mereka telah tua dan membutuhkan pertolongan dalam hidup jangan sampai kita bersikap kurang manis, menunjukkan raut muka yang masam, sampai-sampai mengeluarkan perkataan bernada keluhan. Itulah bakti anak kepada orang tua yang selalu harus diperdi dan dipersudi.

Kami cukupkan sekian dahulu kajian serat Wulangreh tentang topik ini. Semoga memberi manfaat bagi yang berkenan membacanya. Dan semoga rezeki Anda sekalian lancar atas bakti yang Anda lakukan untuk  kemanusiaan.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/21/kajian-wulangreh-6162-tan-manut-bakal-duraka/

Kajian Wulangreh (58:60): Kang Becik Estokena

 Kita sudah masuk dalam Pupuh Maskumambang. Tembang ini mempunyai 4 gatra setiap baitnya. Karena tembang Maskumambang ini relatif pendek, maka kajian akan mengambil beberapa bait sekaligus sesuai kesatuan makna yang dicakup dalam bait-bait tersebut.

Pada (bait) ke-58 sampai 60, Pupuh ke-5 Maskumambang, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV..

Nadyan silih bapa biyung kaki nini,
sadulur myang sanak,
kalamun muruk tan becik,
nora pantes yen den nuta.

Apan kaya mangkono karepaneki,
sanadyan wong liya,
kalamun watake becik,
miwah tindake prayoga.

Iku pantes yen sira tiruwa ta kaki.
Miwah bapa biyung,
amuruk watek kang becik,
iku kaki estokena.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Walaupun ayah, ibu, kakek, nenek,
saudara dan seketurunan,
kalau mengajarkan hal yang tak baik,
tidak pantas kalau diikuti.

Memang seperti itulah yang seharusnya.
Sebaliknya, walaupun orang lain,
ada yang wataknya baik,
dan kelakuannya utama.

Yang demikian itu, pantas engkau ikuti, Nak.
Serta ayah ibu,
jika mengajarkan watak yang baik,
itulah Nak, yang harus kau ikuti.

 

Kajian per kata:

Nadyan silih (walaupun) bapa (bapak) biyung (ibu) kaki (kakek) nini (nenek), sadulur (saudara) myang (dan) sanak (seketurunan), kalamun (jika) muruk (mengajarkan) tan (yang tak) becik (baik), nora (tidak) pantes (pantas) yen (kalau) den (di) nuta (diikuti). Walaupun ayah, ibu, kakek, nenek, saudara dan seketurunan, kalau mengajarkan hal yang tak baik, tidak pantas kalau diikuti.

Hal tak baik yang dimaksud adalah perkara yang jelas-jelas dilarang oleh agama, atau perkara-perkara yang jelas-jelas kejahatannya, yang tiada keraguan lagi. Sesungguhnya ketaatan kepada manusia adalah bukan pada perkara-perkara yang munkar.

Ini berbeda jika yang diajarkan adalah perkara yang belum jelas benar tentang baik-buruknya, sekedar keraguan atau mengenai perbedaan pendapat. Misalnya seseorang berpendapat bahwa perbuatan tertentu tidak mengapa jika dilakukan, tetapi ayah dari orang tersebut berpendapat bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan. Jadi dalam perkara itu belum jelas dan terang tentang benar dan salahnya.

Dalam perkara seperti ini tentu harus dilihat terlebih dahulu dari sisi manfaat dan mudharatnya, apakah perlu mengikuti pendapat orang tua dan kerabat atau tidak. Tetapi setiap pendapat atau nasihat dari orang dekat harus selalu didengar sebagai bahan pertimbangan. Meski dalam memutuskan tetap harus mandiri, karena setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan secara sendiri-sendiri pula.

Apan (memang) kaya (seperti) mangkono (itulah) karepaneki (yang engkau kehendaki), sanadyan (walaupun) wong (orang) liya (lain), kalamun (kalau) watake (wataknya) becik (baik), miwah (serta) tindake (kelakuannya) prayoga (utama). Memang seperti itulah yang seharusnya. Sebaliknya, walaupun orang lain, ada yang wataknya baik dan kelakuannya utama.

Itulah (paragraf sebelumnya) prinsip dari perbuatan manusia, maka hendaklah bersikap seperti itu. Bahwa yang jelas tidak baik dari mana datangnya tidak perlu diikuti. Namun sering kita melihat perkara-perkara baik, watak dan perbuatan baik yang ada pada orang lain. Entah orang itu kita kenal dan sengaja menasihati kita, atau kita hanya sekedar melihatnya saja.

Iku (itu) pantes (pantas) yen (kalau) sira (engkau) tiruwa (contoh) ta kaki (anakku). Yang demikian itu, pantas engkau ikuti, anakku.

Terhadap perbuatan baik, entah dilakukan siapa saja, maka ikutilah wahai anak-anak muda! Yang demikian itu pantas dan tidak melanggar tatakrma, juga tidak melanggar larangan agama, bahkan menjadi sesuatu yang baik. Tentu saja perbuatan baik di sini adalah perbuatan yang jelas-jelas terang kebaikannya, bukan sekedar perbedaan pendapat saja.

Miwah (serta) bapa (ayah)  biyung (ibu), amuruk (yang mengajarkan) watek (watak) kang (yang) becik (baik), iku (itulah) kaki (nak) estokena (harus kau ikuti). Serta ayah ibu, jika mengajarkan watak yang baik, itulah Nak, harus kau ikuti.

Sedangkan dalam hal-hal yang belum jelas benar dan salahnya, tepat atau tidak tepat suatu tindakan, apabila kita lebih memilih pendapat orang tua yang demikian itu tidak salah. Asalkan tetap harus diingat bahwa prinsip dari perbuatan adalah: si pelaku mempertanggungjawabkan secara mandiri setiap perbuatannya.

Namun apabila yang mengajarkan kebaikan adalah ayah-ibu maka harus diikuti. Ayah dan ibu menempati posisi yang prioritas dalam hal perintah dan larangan. Jika yang diajarkan baik mengikutinya adalah sebuah kebaikan yang besar.

Demikian kajian kita pada awal Pupuh Maskumambang ini. Bait-bait selanjutnya masih akan membahas tentang siapa saja yang harus diikuti perkataannya dan mengapa kita perlu melakukannya. Itu adalah nasihat-nasihat yang agung. Jangan sampai ketinggalan.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/21/kajian-wulangreh-58-kang-becik-estokena/

Kajian Wulangreh (57): Ngupayaa Mas Kumambang

 Pada (bait) ke-57, Pupuh ke-4 Pangkur, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Sabarang kang dipun ucap,
nora wurung amrih oleh pribadi,
iku labuhan kang patut.
Aja na nedya nulad,
ing wateking nenem prakara punika.
Sayogyane ngupayaa,
lir mas tumimbul ing warih.

  Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Semua yang diucapkannya,
tak urung supaya memperoleh (keuntungan) untuk dirinya.
(Sifat) yang demikian itu patut dibuang.
Janganlah hendak meniru,
pada watak yang enam perkara itu.
Seyogyanya mencarilah sesuatu,
yang seperti emas yang muncul ke permukaan dari dalam air.

 

Kajian per kata:

Sabarang (semua) kang (yang) dipunucap (diucapkannya), nora (tak) wurung (urung) amrih (supaya) oleh (memperoleh) pribadi (untuk dirinya). Iku ( demikian itu) labuhan (buangan) patut (patut). Semua yang diucapkannya tak urung supaya memperoleh (keuntungan) untuk dirinya. (Sifat) yang demikian itu patut dibuang.

Semua yang dikatankannya hanya demi keuntungan pribadinya saja. Watak yang demikian ini patut untuk dibuang, dilabuh agar hilang. Dilabuh adalah dibuang dengan cara dicemplungkan ke laut atau ke sungai agfar hilang. Demikian juga watak tak baik tadi diperlakukan, buang sajalah

Aja (jangan) na (lah) nedya (hendak) nuladh (meniru),  ing (pada) wateking (watak)  nenem (yang enam) prakara (perkara) punika (itu). Janganlah hendak meniru pada watak yang enam perkara itu.

Pada kajian sebelumnya telah dibahas tentang enam watak yang akan membawa kepada kehancuran:

  1. Lunyu,
  2. Lemer,
  3. Genjah,
  4. Angrong pasanakan,
  5. Nyumur gumuling, dan
  6. Mbuntut arit.

Keenam watak itu janganlah ditiru, tapi buanglah ke laut aja (dilabuh).

Sayogyane (seyogyanya) ngupayaa (mencarilah sesuatu), lir (yang seperti) mas (emas) tumimbul (muncul ke permukaan) ing (dari) warih (air). Seyogyanya mencarilah sesuatu yang seperti emas yang muncul ke permukaan dari dalam air.

Setelah membuang enam watak ke laut tadi, seyogyanya carilah sesuatu yang seperti emas mengapung di air. Ini adalah kiasan bagi munculnya sesuatu yang berharga setelah kita membenamkan ke dasar air semua sifat buruk tadi, maka sebagai gantinya watak baik yang (bernilai) laksana emas akan muncul dan mengapung di air.

Frasa tumimbul ing warih adalah ungkapan lain dari kumambang (mengapung), jadi kalimat mas tumimbul ing warih bisa diganti dengan kata mas kumambang. Maskumambang adalah nama salah satu tembang Macapat. Kalimat ini adalah kode bahwa Pupuh Pangkur telah berakhir dan akan masuk ke Pupuh Maskumambang.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/20/kajian-wulangreh-57-ngupayaa-mas-kumambang/

Kajian Wulangreh (54:56): 6 Watak Tan Pantes

 Pada (bait) ke-54 sampai 56, Pupuh ke-4 Pangkur, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Tiga bait ini sengaja kami satukan dalam satu kajian karena membahas satu tema yang antara bait-baitnya saling berkaitan. Pemisahan akan membuat maknanya terputus.

Aja lunyu lemer genjah,
angrong pasanakan nyumur gumuling,
ambuntut arit puniku,
watek datan raharja.
Pan wong lunyu nora pantes dipunenut,
monyar-manyir tan anteban.
dene lemeran puniku,

 para penginan tegesnya.
genjah iku cak-cekan barang kardi.
Angrong pasanak liripun,
remen ulah murida,
mring rabine sadulur miwah ing batur,
mring sanak myang prasanakan,
sok senenga den ramuhi.

Nyumur gumuling linira,
ambelawah nora duwe wewadi,
nora kene rubung-rubung,
wewadine den umbar.
Mbuntut arit punika pracekanipun,
ambener ing pangarepan,
nanging nggarethel ing wuri.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jangan lunyu, lemer, genjah,
angrong pasanakan, nyumur gumuling
dan mbuntut arit itu,
semua watak yang tidak membawa pada keselamatan.
Akan halnya orang yang lunyu itu tidaklah pantas untuk diikuti,
karena selalu berubah arah, tak ada kemantapan.
Adapun sifat lemer yaitu,

mudah tergiur dengan berbagai keinginan.
Genjah itu ingin cerba cepat dalam sembarang pekerjaan.
Angrong pasanak artinya,
suka berulah menyukai (menggoda),
istri saudara serta pada pembantu,
kepada saudara atau yang dianggap saudara,
apabila telah suka seringkali memperkosa.

Nyumur gumuling artinya,
terlihat jelas, tidak punya rahasia,
tak bisa sedikit saja ada keramaian,
tanpa mengumbar rahasianya.
Mbuntut arit adalah,
kelakuan yang kelihatan membenarkan (mendukung) di depan,
tetapi menggores di belakang.

 Kajian per kata:

Aja (jangan) lunyu lemer genjah (bersikap lunyu lemer genjah), angrong pasanakan (sikap anggrong pasanakan) nyumur gumuling (sikap nyumur gumuling), ambuntut arit punikuwatek (watak) datan (tak membawa) raharja (keselamatan). Jangan lunyu, lemer, genjah, angrong pasanakan, nyumur gumuling dan mbuntut arit, itu semua watak yang tidak membawa pada keselamatan.

Bait ini memperkenalkan kita pada 6 watak buruk yang tidak akan membawa pada keselamatan, dengan demikian pastilah pelakunya akan terbawa pada kehancuran, yakni:

  1. Lunyu,
  2. Lemer,
  3. Genjah,
  4. Angrong pasanakan,
  5. Nyumur gumuling, dan
  6. Mbuntut arit.

Apakah arti dari 6 istilah tersebut? Marilah kita pelajari satu per satu.

Pan (akan halnya) wong (orang) lunyu (lunyu, licin) nora (tidak) pantes (pantas, tidak bisa) dipunenut (diikuti), monyarmanyir (selalu berubah arah) tan (tidak) anteban (kemantapan). Akan halnya orang yang lunyu itu tidaklah pantas untuk diikuti karena selalu berubah arah, tak ada kemantapan.

Lunyu artinya licin, sehingga mudah tergelincir, sulit menetap pasa posisinya. Dalam kazanah bahasa Indonesia ada peribahasa, seperti air di daun talas, yang artinya pendiriannya mudah berubah-ubah. Seperti itulah orang yang lunyu. Oleh karena itu orang lunyu tak dapat diikuti karena sikapnya selalu berubah arah, tidak mantap pada satu pendapat. Orang Jawa bilang, esuk dhele sore tempe, lain pendapat di pagi hari dan sore harinya.

Dene (adapun)  lemeran (lemer) puniku (yaitu), para (banyak) penginan (keinginan) tegesnya (artinya). Adapun sifat lemer yaitu, mudah tergiur dengan berbagai keinginan.

Terlalu banyak keinginan dalam hati membuat hati gampang tergoda jika ada sesuatu yang menarik. Jika hati tak kuat iman bisa menjadi terpedaya. Sifat lemer umumnya dipakai untuk menyebut wanita yang suka berlaku ngiwa, alias mudah selingkuh.

Genjah (genjah) iku (itu) cakcekan(serba cepat)  barang (sembarang) kardi (pekerjaan). Genjah itu ingin cerba cepat dalam sembarang pekerjaan.

Genjah adalah sifat tidak sabaran dalam mengikuti proses, serba ingin hasil instan. Istilah Jawanya nggege mangsa, alias belum masanya tetapi sudah diharapkan selesai. Orang yang terkena penyakit moral jenis ini akan menempuh jalan instan dalam mencapai tujuannya, bila perlu dengan melanggar aturan.

Angrong pasanak (angrong pasanak) liripun (artinya), remen (suka) ulah (bertingkah) murida (menyukai) mring (terhadap) rabine (istri) sadulur (saudara) miwah (serta) ing (pada) batur (pembantu),  mring (kepada) sanak (saudara) myang (dan) prasanakan (persaudaraan), sok (kalau) senenga (suka) den (di) ramuhi (dipaksa, perkosa). Angrong pasanak artinya suka berulah menyukai istri saudara serta pada pembantu, kepada saudara atau yang dianggap saudara, apabila telah suka seringkali memperkosa.

Ini adalah perilaku bejat tak terkira. Suka melirik-lirik istri saudara, pembantu atau tetangga serta teman dekat, apabila telah menyukai dan (tidak ditanggapi) maka melakukan pemaksaan, pemerkosaan. Bener-bener perbuatan keji yang menjijikkan.

Nyumur gumuling (sumur gumuling) linira (artinya), ambelawah (terlihat jelas) nora (tidak) duwe (punya) wewadi (rahasia), nora (tak) kena(boleh) rubungrubung (berkerumun), wewadine (rahasianya) den (di) umbar (pertontonkan). Nyumur gumuling artinya terlihat jelas, tidak punya rahasia, tak bisa sedikit saja ada keramaian tanpa mengumbar rahasianya.

Secara harfiah sumur gumuling artinya sumur yang terguling sehingga isinya tumpah semua, ternganga apa yang ada di dalamnya kelihatan semua. Padahal ssebuah sumur biasanya gelap dan dalam, untuk melihatnya secara jelas pun tak bisa dilakukan.

Mbuntut arit (mbuntut arit) punika pracekanipun (kelakuan), ambener (membenarkan) ing (di) pangarepan (depan), nanging (tetapi) nggarethel (mengkait, menggores) ing (di) wuri (belakang). Mbuntut arit adalah kelakuan yang kelihatan membenarkan (mendukung) di depan, tetapi menggores di belakang.

Arit adalah piranti tajam yang ujungnya atau ekornya bengkok, bisa dipakai untuk mengkait ranting agar bisa putus. Kegunaan arit memang untuk memotong sesuatu terutama rerumputan dengan cara dikait. Alat ini sangat digemari oleh para peternak untuk mencari rumput karena enak dipakai. Varian dari arit adalah celurit, senjata sejenis yang dipakai saudara kita di Jawa Timur, bentuk kaitnya lebih panjang dan melengkung.

Orang yang kelihatan bersetuju di hadapan tetapi menjegal di belakang mirip dengan gambaran arit ini. Ambuntut arit adalah watak seperti arit, halus di depan mengkait di belakang.

Itulah gambaran 6 watak candhala (buruk) yang bisa hinggap pada siapa saja. Maka sekali lagi kewaspadaan harus menjadi senjata utama pada setiap waktu dan tempat. Kami cukupkan dahulu kajian tentang watak buruk ini. Saya sendiri pun ngeri dan merinding ketika menulis ini. Terbayang bagaimana kalau juga terjangkit penyakit  moral seperti itu. Tanpa kusadari bulu kuduk merinding.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/20/kajian-wulangreh-5456-6-watak-tan-pantes/

Kajian Wulangreh (53): Karya Labuhan Kang Patut

 Pada (bait) ke-53, Pupuh ke-4 Pangkur, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Aja nedya katempelan,
ing wewatek kang tan pantes ing budhi,
Watek rusuh nora urus,
tunggal lawan manungsa.
Dipun sami karya labuhan kang patut,
darapon dadi tuladha,
tinuta mring wong kang wuri.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jangan sampai terjangkiti,
oleh watak yang tak pantas bagi (orang) yang berbudi.
Watak kotor tang tak dibenarkan,
jika bersatu dalam diri manusia.
Seyogyanya berbuatlah pengabdian yang pantas,
supaya menjadi teladan,
dan diikuti oleh (generasi) belakangan.

 

Kajian per kata:

Aja (jangan) nedya (hendak, akan, ingin) katempelan (terjangkiti), ing (oleh) wewatek (watak) kang (yang) tan (tak) pantes (pantas) ing (dalam) budhi (akal budi). Jangan sampai terjangkiti oleh watak yang tak pantas bagi (orang) yang berbudi.

Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Sanggup untuk berbuat dengan akhlak yang mulia, maka penuhilah kodrat itu. Jangan sampai malah terjangkit sifat-sifat yang tak pantas disandang oleh manusia, seperti layaknya sifat-sifat iblis. Dalam dunia hewan saja kadang kita temukan perilaku yang mulia semisal ungkapan kesetiaaan atau saling bekerja sama, apalagi sebagai manusia sudah seharusnya mempunyai watak yang lebih baik.

Watek (watak) rusuh (kotor) nora urus (tak benar, tidak sesuai tatanan), tunggal (menyatu) lawan (dengan) manungsa (manusia).  Watak kotor tak dibenarkan jika bersatu dalam diri manusia.

Yaitu watak kotor yang tidak benar, tidak seharusnya menyatu dalam tubuh manusia. Rusuh dalam bahasa Jawa berarti kotor, kemproh, lekoh. Biasanya kata ini dipakai untuk menyebut orang yang perkataannya kotor, saru dan tak sopan. Nah, sifat-sifat yang demikian tak seharusnya menyatu dalam jiwa dan tubuh manusia, tan patut lamun kajiwa lan kasalira dening manungsa.

Dipunsami (upayakan bersama, seyogyanya) karya (membuat) labuhan (peninggalan) kang (yang) patut (pantas), darapon (supaya) dadi (menjadi) tuladha (teladan), tinuta (bisalah diikuti) mring (oleh) wong (orang) kang (yang) wuri (belakang, kelak, nanti). Seyogyanya buatlah peninggalan yang pantas, supaya menjadi teladan, dan diikuti oleh orang-orang yang belakangan.

Labuhan adalah buangan atau sesuatu yang jatuh. Dilabuh artinya dibuang ke laut agar ditemukan orang lain. Labuhan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang akan ditemukan oleh generasi yang akan datang, atau dengan kata lain: sebuah peninggalan.

Sebagai ganti dari sifat kotor tadi seyogyanya upayakan agar mampu membuat peninggalan yang pantas kepada masyarakat. Suatu perbuatan yang berguna bagi peradaban manusia secara keseluruhan. Supaya kelak menjadi teladan bagi orang-orang yang datang belakangan, yaitu generasi yang akan datang. Anak-cucu yang akan mewarisi bumi yang kita pijak sekarang ini.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/20/kajian-wulangreh-53-karya-labuhan-kang-patut/

Kajian Wulangreh (52): Katak Dalam Tempurung

 Pada (bait) ke-52, Pupuh ke-4 Pangkur, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Ing sabarang tingkah polah.
Ing pangucap tanapi lamun linggih,
sungkan asor ambekipun,
pan lumuh kaungkulan,
Ing sujanma pangrasane dhewekipun,
nora nana kang memadha,
angrasa luhur pribadi.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Dalam semua tingkah polah.
Dalam perkataan dan juga ketika duduk,
wataknya tak mau kalah (oleh orang lain),
dan juga tak mau ada yang melebihi.
Di antara orang-orang dia merasa dirinya,
tidak ada yang menyamai,
merasa paling tinggi.

  

Kajian per kata:

Ing (dalam) sabarang (semua) tingkah (tingkah, perbuatan) polah (polah, laku), ing (dalam) pangucap (perkataan) tanapi (dan juga) lamun (ketika) linggih (duduk), sungkan (tak mau) asor (kalah) ambekipun (wataknya), pan (dan juga) lumuh (tak mau) kaungkulan (ada yang melebihi). Dalam semua tingkah polah (perbuatan). Dalam semua tingkah polah. Dalam perkataan dan juga ketika duduk, wataknya tak mau kalah (oleh orang lain), dan juga tak mau ada yang melebihi.

Penggubah serat ini tidak menyebut nama dari tabiat seperti yang diuraikan dalam bait ini. Tetapi dari ciri-ciri yang disampaikan ini adalah watak orang yang pengecut. Seorang pengecut biasanya tak mau kalah dari orang lain. Yang sebenarnya dia berhati kerdil karena menganggap jika kalah dari orang lain adalah aib.

Orang seperti ini biasanya tak mempunyai kelebihan yang dapat diandalkan, pecundang tetapi ingin eksis. Akibatnya dalam setiap kesempatan dia akan membenci orang yang lebih baik dari dirinya. Dia akan menyerangnya dengan mencari-cari kelemahan orang itu, sehingga tampak orang itu lebih buruk dari dirinya.

Orang dengan watak seperti ini takkan pernah mendapatkan hikmah apapun dari kehidupannya. Jika ada sesuatu yang baik pada orang lain dia tak mau belajar atau mencontoh, tetapi malah akan sibuk mencari kelemahan orang itu agar dapat mengatakan, dia juga tak sempurna! Tak lebih baik dariku!

Ing (di) sujanma (orang-orang) pangrasane (ia merasa) dhewekipun (dirinya), nora (tidak) nana (ada) kang (yang) memadha (menyamai), angrasa (merasa) luhur (tinggi) pribadi (dirinya). Di antara orang-orang dia merasa dirinya tidak ada yang menyamai, merasa paling tinggi.

Orang seperti ini juga merasa dirinya tak ada yang menyamai. Jika ada kelebihan dirinya sedikit saja akan dia agung-agungkan, sehingga tampak oleh pandangannya sendiri sebagai perbuatan besar yang tak dapat disamai oleh orang lain. Sementara jika menemukan kelemahan pada dirinya dia akan menghibur diri dengan berkata, orang lain juga lebih banyak kelemahannya.

Orang seperti ini tertutup mata hatinya, tak mampu melihat kebenaran di mana pun dia berada. Ada pepatah dalam bahasa Indonesia yang sangat tepat menggambarkan keadaan orang ini: seperti katak dalam tempurung.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/20/kajian-wulangreh-52-katak-dalam-tempurung/

Senin, 06 Mei 2024

Kajian Wulangreh (51): Nafsu Luwamah dan Amarah

 Pada (bait) ke-51, Pupuh ke-4 Pangkur, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Iku wong durjana murka,
nora nana mareme jroning ati.
Sabarang karepanipun,
nadyan wusa katekan,
karepane nora mari saya banjur.
Luwamah lawan amarah,
iku kang den tut wuri.

  Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Orang seperti itu disebut penjahat serakah,
tidak pernah merasa puas dalam hatinya.
Semua keinginannya,
meskipun telah tercapai,
keinginannya tak mereda, (malah) makin menjadi-jadi.
Nafsu luwamah dan amarah,
itu yang diikuti.

 

Kajian per kata:

Iku (itulah) wong (orang) durjana (penjahat) murka (serakah), nora (tidak) nana (ada) mareme (rasa puas) jroning (dalam) ati (hati). Orang seperti itu (disebut) penjahat serakah, tidak pernah merasa puas dalam hati(nya).

Itulah orang durjana, yakni orang yang suka berbuat jahat. Dan kejahatannya kali ini adalah murka, (dibaca murko dalam ejaan Indonesia). Saya belum menemukan kata yang pas dalam bahasa Indonesia untuk terjemahan kata murka ini, kata yang paling dekat adalah serakah. Tetapi kata serakah pun ada dalam bahasa Jawa, yakni srakah, dan artinya agak-agak beda dengan murka.

 Murka adalah watak selalu ingin lebih dari kebutuhannya. Jika makan satu piring pun sudah kenyang tetapi dia ingin dua piring, maka orang itu disebut murka. Jika satu anu (apa saja) sudah cukup baginya tetapi dia ingin dua, tiga atau empat anu (apa saja), maka itulah murka. Lain halnya kalau memang dia harus makan dua piring karena suatu sebab khusus, maka yang demikian itu tak disebut murka. Jadi yang menjadi pokok masalah adalah manakala dia masih ingin lagi ketika sebenarnya kebutuhannya telah tercukupi.

Kata murka biasanya dipakai untuk menyebut suatu keinginan yang berkaitan dengan kuantitas. Misalnya seseorang sebenarnya makan buah pepaya (-yang murah) pun sudah cukup, tetapi dia tidak mau dan memilih buah durian (-yang mahal), asal masih dalam kuantitas yang wajar tidak disebut murka.

Sabarang (semua) karepanipun (keinginannya), nadyan (walau) wusa (sudah) katekan (terpenuhi), karepane (keinginannya) nora (tidak pernah) mari (usai, berhenti) saya (makin) banjur (menjadi-jadi). Semua keinginannya, meskipun telah tercapai, keinginannya tak mereda, (malah) makin menjadi-jadi.

Keinginan manusia sebenarnya berbeda dengan kebutuhan. Tolok ukur kebutuhan adalah tercukupinya maksud dan tujuan suatu perbuatan. Misalnya makan, maksud dan tujuannya adalah supaya kenyang agar badan kuat. Sedangkan keinginan tolok ukurnya adalah kepuasan hati. Misalnya walau makan dengan tempe sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makan, namun dia ingin makan dengan lauk ayam panggang. Setelah terpenuhi keinginannya, ia pun puas.

Lain halnya dengan orang yang murka, keinginannya tak pernah bisa terpenuhi. Jika dia ingin makan ayam panggang dan sudah mendapat yang dia inginkan keinginannya tak berhenti, dia ingin makan ayam panggang lagi, dua, tiga dan empat. Yang membuatnya berhenti adalah daya tampung waduknya (perut) yang sudah over kapasitas, alias kemlekeren.

Luwamah (tak pernah puas) lawan (dan) amarah (nafsu amarah), iku (itulah) kang (yang) den (di) tut wuri (ikuti). Nafsu luwamah dan amarah, itu yang diikutinya.

Luwamah (kadang disebut juga aluwamah) adalah nafsu yang tak pernah terpuasakan. Kata ini sebenarnya diambil dari kata Arab nafsi lawwamah yang artinya nafsu yang mampu menyesali diri. Dalam budaya Jawa kata ini kemudian berubah menjadi istilah aluwamah, nafsu yang tak pernah terpuaskan. Amarah yang dimaksud dalam gatra ini juga diambil dari kata bahasa Arab nafsal amarah bissu’, nafsu yang menyuruh pada kejahatan.

Kami tak hendak menguraikan menurut pengertian aslinya dalam bahasa Arab atau menurut Al Quran. Karena kata yang dipakai dalam gatra ini adalah kata yang sudah menjadi istilah dalam bahasa Jawa. Dan maksud gatra ini adalah: luwamah adalah nafsu yang tak pernah terpuaskan, amarah adalah nafsu yang cenderung menyuruh kepada perbuatan jahat. Kedua nafsu itulah yang diikuti oleh orang murka.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/19/kajian-wulangreh-51-nafsu-luwamah-dan-amarah/

KANCIL KANG PADHA MIRIS