Senin, 22 Juli 2024

Kajian Wulangreh (242): Prasapane Ki Ageng Tarub

 Pada (bait) ke-242, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Wiwitan ingkang prasapa,
Ki Ageng ing Tarup weling.
Iing satedhak turunira,
tan rinilan nganggo keris,
miwah waos tan keni,
kang awak waja puniku.
Lembu tan kena dhahar,
daginge lan nora keni,
anginguwa marang wong wandhan tan kena.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Pertama kali yang mengucap prasapa,
adalah Ki Ageng di Tarub yang berpesan.
Bahwa anak-keturunannya,
tak diijinkan memkai keris,
serta tumbak juga tak boleh,
yang berbahan baja.
Lembu tak boleh dimakan,
dagingnya dan tidak boleh,
memelihara orang yang bisu tak boleh juga.


Kajian per kata:

Wiwitan (pertama kali) ingkang (yang) prasapa (prasapa), Ki Ageng (Ki Ageng) ing (di) Tarup (Tarub) weling (berpesan). Pertama kali yang mengucap prasapa, adalah Ki Ageng di Tarub yang berpesan.

Yang pertama kali melakukan prasapa adalah Ki Ageng Tarub, yang mempunyai pesan-pesan larangan kepada anak cucu agar mereka menjauhi larangan tersebut.

Ki Ageng Tarub adalah nenek moyang raja Mataram. Silsilahnya sebagai berikut: Ki Ageng Tarub berputri Dewi Nawangsih yang kemudian diperistri Bondan Kejawan. Dari Bondan Kejawan secara urut kemudian  berputra Ki Ageng Getas Pandawa, berputra Ki Ageng Sela, berputra Ki Ageng Enis, berputra Ki Ageng Pemanahan, berputra Panembahan Senopati raja pertama Mataram. Jadi Panembahan Senopati adalah keturunan ke-6 dari Ki Ageng Tarub.

Ing (pada) satedhak turunira (anak-keturunannya), tan (tak) rinilan (dijinkan) nganggo (memakai) keris (keris), miwah (serta) waos (tumbak) tan (tak) keni (boleh), kang (yang) awak (berbahan) waja (baja) puniku (itu). Bahwa anak-keturunannya, tak diijinkan memkai keris, serta tumbak juga tak boleh, yang berbahan baja.

Larangan Ki Ageng Tarub adalah: yang pertama, anak keturunannya tidak diijinkan memakai keris, serta tumbak yang berbahan baja. Yang dimaksud adalah bahan baja saja tanpa campuran unsur lain. Sedangkan keris yang berbahan meteor yakni yang memakai pamor tidak termasuk dalam larangan itu.

Lembu (sapi) tan (tak) kena (boleh) dhahar (dimakan), daginge (dagingnya) lan (dan) nora (tidak) keni (boleh), anginguwa (memelihara) marang (pada) wong (orang) wandhan tan (tak) kena (boleh). Lembu tak boleh dimakan, dagingnya dan tidak boleh, memelihara orang wandhan tak boleh juga.

Yang kedua, anak keturunan Ki Ageng Tarub tidak boleh memakan daging sapi. Dan yang ketiga tidak boleh memelihara orang wandhan. Kami belum mendapat informasi yang valid tentang mengapa Ki Ageng Tarub sampai mengucapkan ujaran prasapa ini. Kelak apabila sudah mendapati sumber yang terpercaya akan kami tambahkan informasi mengenai hal ini.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-242-prasapane-ki-ageng-tarub/

Kajian Wulangreh (241): Aja Nerak Wewaler

 Pada (bait) ke-241, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Lan maning ana wasiyat,
prasapa kang dhingin dhingin.
Wajib padha kawruhana,
mring anak putu kang kari.
Lan aja na kang wani,
anerak wewaleripun,
marang leluhur padha.
Kang minulyakken ing Widdhi,
muga-muga mupangatana ing darah.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Dan ada lagi wasiat,
ujaran larangan yang dulu-dulu.
Wajib bagi semua untuk mengetahui (prasapa),
kepada anak cucu yang ditinggalkan.
Dan jangan ada yang berani,
melanggar larangannya,
kepada leluhur semua.
Yang telah dimuliakan oleh Tuhan,
semoga bermanfaat kepada keluarga besar.


Kajian per kata:

Lan (dan) maning (lagi) ana (ada) wasiyat (wasiat), prasapa (ujaran) kang (yang) dhingin dhingin (dulu-dulu). Dan ada lagi wasiat, ujaran larangan yang dulu-dulu.

Prasapa adalah larangan yang diucapkan leluhur, kadang dengan disertai kutukan. Misalnya, anak cucuku jangan ke sawah di hari Jum’at. Ada pula yang disertai kutukan, misalnya: anak cucuku jangan mempunyai gawe di hari Wage, jika melanggar akan celaka.

Prasapa biasanya muncuk karena pengalaman para leluhur yang kemudian digeneralisir ke anak cucunya. Misalnya salah seorang leluhur kami (-pengkaji) sering mendapatkan pengalaman yang tidak baik ketika mengadakan hajat atau membuat acara di hari Jum’at, maka kemudian dia menyimpulkan bahwa pada hari Jum’at sebaiknya tidak melakukan pekerjaan besar, sebagai gantinya lebih fokus kepada ibadah saja.

Dalam bait ini ada anjuran untuk menaati prasapa tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur. Namun demikian menurut hemat kami (-pengkaji serat ini), kepatuhan terhadap prasapa tidak boleh melanggar syariat agama. Jika ada prasapa yang melanggar syariat agama maka harus diabaikan. Dan juga dilihat situasi dan kondisi setempat. Misalkan ada kepentingan yang lebih besar dan kemaslahatan yang lebih banyak, maka prasapa harus ditinggalkan.

Wajib (wajib) padha (bagi semua) kawruhana (mengetahui), mring (kepada) anak (anak) putu (cucu) kang (yang) kari (tinggal). Wajib bagi semua untuk mengetahui (prasapa) kepada anak cucu yang ditinggalkan.

Wasiat yang ditinggalkan leluhur yang berupa larangan tersebut wajib diketahui oleh anak cucu yang ditinggalkan. Ini merupakan bagian dari ngleluri jejak-jejak perjuangan para leluhur yang telah merintis kebaikan bagi kita semua. Tanpa jerih payah mereka, kita tak mungkin menikmati kehidupan ini.

Lan (dan) aja (jangan) na (ada) kang (yang) wani (berani), anerak (melanggar) wewaleripun (larangannya), marang (kepada) leluhur (leluhur) padha (semua). Dan jangan ada yang berani, melanggar larangannya, kepada leluhur semua.

Selain prasapa, ada juga yang disebut wewaler, yakni larangan yang ditujukan kepada anak cucu. Biasanya larangan ini mengandung kebaikan bagi mereka. Dan yang dilarang pun juga merupakan hal-hal yang sudah umum diketahui sebagai tidak baik, namun ada sisi penekanan sehingga diharapkan anak cucu memperhatikan.

Kang (yang) minulyakken (dimuliakan) ing (oleh) Widdhi (Tuhan), mugamuga (semoga) mupangatana (bermanfaat) ing (pada) darah (trah, keluarga besar). Yang telah dimuliakan oleh Tuhan, semoga bermanfaat kepada keluarga besar.

Bagaimanapun para leluhur tersebut telah dimuliakan oleh Tuhan. Jejak mereka abadi melalui peninggalan yang telah diwariskan kepada kita semua. Tidak ada keburukan dalam menghormati apa yang mereka larang dan apa yang mereka suruh sepanjang tidak bertentangan dengan syariat agama, serta melanggar aturan kehidupan lainnya.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-241-aja-nerak-wewaler/

Minggu, 21 Juli 2024

Kajian Wulangreh (240): Nora Ngatingalken Lampah

 Pada (bait) ke-240, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Punika laku utama,
tumindak sarta kakelir.
Nora ngatingalken lampah,
wadine kang den alingi.
Panedyane ing batin,
pan jero pangarahipun,
asore ngemu rasa.
Prayoga tiniru ugi,
anak putu aja na ninggal lanjaran.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Itulah laku utama,
berbuat serta ditutupi.
Tidak memperlihatkan laku,
rahasianya yang ditutupi.
Kehendak dalam hati,
memang besar yang dikejar.
Rendahnya mengandung rasa.
Lebih baik ditiru juga,
anak cucu jangan ada yang meninggalkan pedoman.


Kajian per kata:

Punika (itulah) laku (laku) utama (utama), tumindak (berbuat) sarta (serta) kakelir (ditutupi). Itulah laku utama, berbuat serta ditutupi.

Ini adalah perilaku utama, dalam hal ini yang dimaksud adalah menyembunyikan segala upaya untuk meraih kejayaan. Mereka merintis jalan dengan tetap disertai rasa pasrah dan bertindak moderat. Tidak melakukan pembangkangan terhadap penguasa yang sah, namun melakukan dengan cara yang konstitusional.

Nora (tidak) ngatingalken (memperlihatkan) lampah (laku), wadine (rahasia) kang (yang) den (di) alingi (tutupi). Tidak memperlihatkan laku, rahasianya yang ditutupi.

Upaya mereka disamarkan, rahasianya ditutupi sehingga tidak terlihat dari orang lain. Inilah cara-cara yang terpuji jika menginginkan kekuasaan politik, tidak perlu melakukan cara-cara kotor sebagaiman politikus zaman sekarang yang senang menebar kebencian terhadap lawan politik.

Panedyane (kehendak) ing (dalam) batin (hati), pan (memang) jero (dalam, besar) pangarahipun (yang dikejar). Kehendak dalam hati, memang besar yang dikejar.

Cita-cita yang ingin diraih memang besar. Kemuliaan yang ingin dicapai memang tinggi. Kejayaan yang ingin dicapai memang sulit digapai, namun mereka tetap melakukan dengan ketenangan. Jauh dari sikap gembar-gembor menjual omongan ke sana ke mari. Langkah mereka mantap disertai keteguhan hati.

Asore (rendahnya) ngemu (mengandung) rasa (rasa). Rendahnya mengandung rasa.

Upayanya yang sederhana itu, bahkan terkesan remeh, rendah mengandung sebuah pesan moral yang tinggi bahwa jabatan atau kekuasaan duniawi tak perlu dikejar dengan mati-matian, namun diperlakukan sebagai amanat yang ditunaikan. Siapa mengira bahwa kepada mereka akan diserahkan kekuasaan di Tanah Jawa, sedangkan mereka adalah orang-orang desa yang sederhana, jauh dari ambisi dan kepentingan politik apapun. Namun ketika mereka diserahi kekuasaan itu mereka memikulnya dengan amanah.

Prayoga (lebih baik) tiniru (ditiru) ugi (juga), anak (anak) putu (cucu) aja (jangan) na (ada) ninggal (meninggalkan) lanjaran (pedoman). Lebih baik ditiru juga, anak cucu jangan ada yang meninggalkan pedoman.

Sikap para pendiri Mataram ini layak untuk ditiru anak cucu di zaman ini. Bukan saja pada anak keturunan mereka namun juga layak diteladani bagi semua orang yang berkecimpung dalam politik. Mereka sudah membuat pedoman moral yang tinggi, kita jangan meninggalkan pedoman itu. Ibarat buah melon, jika tumbuh di luar lanjaran takkan menjadi buah yang besar dan enak, justru akan membusuk mencium tanah.

Lanjaran adalah pedoman (guide) tempat tumbuhnya tanaman, biasanya melon, kacang panjang atau mentimun. Terbuat dari bambu yang ditancapkan sebagai tempat menjalar. Jika tidak ada lanjaran kemungkinan buah melon takkan tumbuh besar dan enak, karena kalau tumbuh menyentuh tanah kurang baik kualitasnya, bahkan bisa membusuk. Perilaku para pendiri Mataram adalah lanjaran bagi mereka yang ingin merintis karir sebagai politikus. Jangan tumbuh di luar itu, kan menjadi politikus busuk kau nanti!

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-240-nora-ngatingalken-lampah/

Kajian Wulangreh (239): Tapane Nganggo Alingan

 Pada (bait) ke-239, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Tapane nganggo alingan,
pan sami alaku tani,
iku kang kinarya sasap.
Pamrihe aja katawis,
ujub riya lan kibir,
sumungah ingkang siningkur.
Lan endi kang kanggonan,
wahyuning karaton Jawi,
tinempelan anggepipun kumawula.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Laku prihatinnya memakai tabir,
semua berlaku sebagai petani,
itu yang dipakai penutup.
Maksudnya agar jangan terlihat,
ujub riya dan takabur,
sikap sombong yang disingkiri.
Dan mana yang mendapatkan,
wayu kerajaan Jawa,
didukung dengan sikap pengabdian.


Kajian per kata:

Tapane (laku prihatinnya) nganggo (memakai) alingan (tabir), pan sami (semua) alaku (berlaku sebagai) tani (petani), iku (itu) kang (yang) kinarya (dipakai) sasap (penutup). Laku prihatinnya memakai tabir, semua berlaku sebagai petani, itu yang dipakai penutup.

Pada bait yang lalu telah diuraikan tentang para pendiri kerajaan Mataram yang bersikap rendah hati dan tidak memperlihatkan ambisi pribadi. Dalam keseharian mereka, laku tirakat mereka juga disertai dengan bekerja layaknya orang lain, bertani dan menggarap sawah. Yang membedakan adalah dalam hati mereka ada cita-cita untuk meraih kejayaan, dan itu diperjuangkan dengan laku tirakat yang berat, hidup prihatin dan senantiasa memohon kepada Tuhan.

Pamrihe (maksudnya agar) aja (jangan) katawis (terlihat), ujub (ujub) riya (riya) lan (dan) kibir (kibir), sumungah (umuk, pamer amalan) ingkang (yang) siningkur (disingkiri). Maksudnya agar jangan terlihat, sifat ujub riya dan takabur, sikap sombong yang disingkiri.

Namun dalam keseharian mereka tetap bertani seperti orang lain, agar tidak terjangkit penyakit ujub, riya dan sombong. Jika dilihat hal itu benar adanya, meski Ki Pemanahan dan kawan-kawan adalah penasihat Raja Pajang mereka tidak pamrih dengan kedudukan sebagai pejabat di kota. Mereka tetap lestari di desa menjadi Ki Ageng, yakni orang yang hanya tekun ibadah tak mempedulikan lagi capaian duniawi. Ternyata itu dilakukan karena mereka menyimpan cita-cita yang besar agar anak cucu mereka meraih kemuliaan yang lebih.

Sumungah dari bahasa Arab sum’ah artinya mengatakan kebaikan atau amalan kepada orang yang tadinya tidak tahu. Ujub (Arab: ‘ujub) adalah mengagumi diri sendiri, dan riya (Arab: riya’) adalah memperlihatkan amalan kepada orang lain.

Lan (dan) endi (mana) kang (yang) kanggonan (yang mendapatkan), wahyuning (wahyu) karaton (kerajaan) Jawi (Jawa), tinempelan (didekati, didukung) anggepipun (dengan sikap, anggapan) kumawula (pengabdian). Dan mana yang mendapatkan, wayu kerajaan Jawa, didukung dengan sikap pengabdian.

Walau berusaha dengan keras dan senatiasa memohon, namun mereka melakukan itu dengan disertai sikap pasrah atas kehendak Allah. Ini terbukti ketika bukan mereka yang mendapat anugrah mereka tidak kecewa dan putus asa. Bahkan ketika anugrah wahyu kerajaan jatuh kepada teman dekat mereka sendiri mereka tidak iri hati, mereka malah mendukung dengan hati bulat. Ini ditunjukkan ketika yang mendapat anugrah adalah Ki Pemanahan dengan naiknya Panembahan Senapati menjadi raja pertama, sesepuh Mataram yang lain, Ki Juru Martani dan Ki Penjawi tidak sakit hati dan berbalik. Mereka bahkan ikut membantu agar Mataram berdiri tegak, contohnya ahli strategi Ki Juru Martanai kemudian menjadi penasihat kerajaan bergelar Adipati Mandaraka. Sedangkan Ki Panjawi kemudian menjadi penguasa di Pati namun tetap berafiliasi sebagai bawahan Mataram.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-239-tapane-nganggo-alingan/

 

Kajian Wulangreh (238): Andhap Asor Anamur Lampah

Pada (bait) ke-238, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Para leluhur sedaya,
nggone nenedha mring Widhi,
bisaa baboni praja,
dadi ugering rat Jawi.
Saking telateneki,
anggone katiban wahyu,
ing mula mulanira.
Lakune leluhur dingin,
andhap asor anggone anamur lampah.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Para leluhur semua,
dalam mereka memohon kepada Tuhan,
agar dapat mengelola negara,
menjadi pedoman di tanah Jawa.
Karena ketekunan mereka,
dalam mendapat wahyu,
di awal mulanya.
Perilakunya leluhur dahulu,
rendah hati dalam menyamarkan laku.


Kajian per kata:

Dalam bait sebelumnya telah disinggung bahwa apa yang sekiranya baik untuk kita, maka seyogyanya kita lakukan, walau sebuah keberhasilan tetap ditentukan oleh anugrah Tuhan semata. Hal itu karena Tuhan takkan mendholimi usaha hambanya, dalam pengertian jika seorang hamba bersungguh-sungguh dalam memohon, maka suatu saat pasti dikabulkan, atau diberi petunjuk ke jalan keselamatan. Hal itu sudah dicontohkan oleh para leluhur pendiri dinasti Mataram.

Para (para) leluhur (leluhur) sedaya (semua), nggone (dalam mereka) nenedha (memohon) mring (kepada) Widhi (Tuhan), bisaa (agar dapat) baboni (mengelola) praja (negara), dadi (menjadi) ugering (pedoman) rat (jagad, wilayah, tanah) Jawi (Jawa). Para leluhur semua, dalam mereka memohon kepada Tuhan, agar dapat mengelola negara, menjadi pedoman di tanah Jawa.

Para leluhur semua, para pendiri kerajaan Mataram, yakni Ki Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, dalam memohon kepada Tuhan agar dapat mengelola negara dan menjadi pedoman wilayah tanah Jawa, benar-benar bersungguh-sungguh. Mereka menjalani laku tirakat yang berat agar anak cucu mereka menemui kemuliaan.

Saking (karena) telateneki (ketekunan mereka), anggone (dalam) katiban (mendapat) wahyu (wahyu), Karena ketekunan mereka, dalam mereka mendapat wahyu.

Karena ketekunan mereka, akhirnya mereka mendapatkan wahyu tanah Jawa. Merekalah yang akhirnya terpilih menjadi penguasa tanah Jawa dengan berdirinya kerajaan Mataram, sebagai penerus kerajaan Demak yang runtuh akibat pertikaian politik para elit kerajaan. Sebelum berdiri kerajaan Mataram sebenarnya pusat kerajaan telah pindah ke Pajang, yang sekarang masuk dalam wilayah. Namun rakyat lebih suka mengabdi kepada kerajaan Mataram yang waktu itu masih berupa wilayah perdikan kecil di bekas hutan Mentaok. Semua itu karena melihat kesungguhan para pendiri kerajaan dalam mengelola negara.

Ing (di) mula (awal) mulanira (mulanya), lakune (perilakunya) leluhur (leluhur) dingin (dahulu), andhap asor (rendah hati) anggone (dalam) anamur (menyamarkan) lampah (laku). Di awal mulanya, perilakunya leluhur dahulu, rendah hati dalam menyamarkan laku.

Yang pada awal mulanya perilaku para pendiri kerajaan itu rendah hati dan menyamarkan laku. Tidak menunjukkan ambisi pribadi yang berlebihan.

Itulah mungkin yang membuat rakyat suka dan dengan senang hati bergabung, berbondong-bondong membuka lahan di Mataram yang waktu itu masih berupa hutan belantara. Pada zaman dahulu selain wilayahnya sebuah negara juga ditentukan oleh rakyat yang ikut mengabdi. Akan percuma saja sebuah negara yang wilayahnya besar tapi tidak ada penduduknya. Dan para pendiri kerajaan Mataram itu berhasil menarik simpati masyarakat sehingga ingin bergabung, maka jadilah sebuah negara besar Mataram yang sampai saat ini telah berusia 500 tahun.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-238-andhap-asor-anamur-lampah/

Kajian Wulangreh (237): Lawas-Lawas Kepanggih

 Pada (bait) ke-237, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Nanging ta sabarang karya,
kang kinira dadi becik,
pantes yen tinalatenan.
Lawas-lawas bok pinanggih.
Den mantep jroning ati,
ngimanken tuduhing guru,
aja uga bosenan,
kalamun arsa utami.
Mapan ana dalile kang wus kalakyan.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Namun demikian dalam semua perbuatan,
yang diperkirakan menjadi baik,
pantas kalau ditekuni.
Lama-lama mungkin akan tercapai.
Yang mantap dalam hati,
meyakini petunjuk guru,
jangan juga suka bosan,
jika hendak mencapai keutamaan.
Karena memang ada dalil yang sudah terbukti.


Kajian per kata:

Nanging (namun demikian) ta sabarang (dalam semua) karya (perbuatan), kang (yang) kinira (diperkirakan) dadi (menjadi) becik (baik), pantes (pantas) yen (kalau) tinalatenan (ditekuni). Namun demikian dalam semua perbuatan, yang diperkirakan menjadi baik, pantas kalau ditekuni.

Walau ada kesulitannya dan tingkat keberhasilannya tidak ditentukan oleh diri kita sendiri saja, melainkan juga atas perkenan Allah Yang Maha Kuasa, hal-hal baik itu tetap pantas dilakukan dengan tekun. Dikerjakan tanpa putus-putus sepanjang waktu, selama hayat masih dikandung badan.

Lawaslawas (lama-lama) bok (mungkin) pinanggih (ditemukan, tercapai). Lama-lama mungkin akan tercapai.

Jika telaten dan rajin maka lama-lama pasti yang diinginkan akan tercapai. Meski yang diinginkan berat, kalau sudah ada petunjuk yang jelas dan ada kemampuan untuk melaksanakannya sebaiknya tetap dilaksanakan. Suatu saat apa yang dimaksud akan tercapai, yang dituju akan kesampaian

Den (yang) mantep (mantap) jroning (dalam) ati (hati), ngimanken (meyakini) tuduhing (petunjuk) guru (guru), aja (jangan) uga (juga) bosenan (suka bosan), kalamun (jika) arsa (hendak) utami (keutamaan).Yang mantap dalam hati, meyakini petunjuk guru, jangan juga suka bosan, jika hendak mencapai keutamaan.

Ada tiga hal yang menjadi kunci keberhasilan mencapai maksud: mantap dalam hati, meyakini dan mengikuti petunjuk guru dan tidak cepat bosan. Lakukan tiga hal ini jika ingin kehidupanmu berhasil.

Mapan (karena memang) ana (ada) dalile (dalil) kang (yang) wus (sudah) kalakyan (terjadi, terbukti).  Karena memang ada dalil yang sudah terbukti.

Itulah dalil yang disebutkan Allah dalam Al Quran, barang siapa berusaha dengan sungguh  mencariku, maka akan kutunjukkan jalan kepadaKu. Dan di alam nyata dalil ini sudah terbukti dengan apa yang terjadi pada leluhur pendiri kerajaan Mataram, sebagaimana diuraikan dalam bait berikutnya.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-237-lawas-lawas-kepanggih/

Kajian Wulangreh (236): Binuka Jroning Wardaya

 Pada (bait) ke-236, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Lamun ora mangkonoa,
sayektine nora dadi.
Mungguh ilmu ingkang nyata,
nora kena den sasabi.
Ewuh gampang sayekti,
punika wong darbe kawruh.
Gampang yen winicara,
angel yen durung marengi,
ing wetune binuka jroning wardaya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jika tidak demikian itu,
benar-benar tidak akan terjadi.
Bagi ilmu yang nyata,
tidak bisa ditutupi.
Repot gampang sebenarnya,
itu bagi orang yang mempunyai pengetahuan.
Gampang  kalau hanya dibicarakan,
sulit kalau tidak bersamaan,
dengan terbukanya isi hati.


Kajian per kata:

Pada bait yang lalu telah diuraikan dengan sederhana tentang konsep manunggaling kawula Gusti yang diumpamakan dengan proses pembuatan suwasa. Bahwa agar dicapai kemangunggalan yang sejati, maka diri manusia harus bersih terlebih dahulu secara lahir dan batin.

Lamun (kalau) ora (tidak) mangkonoa (demikian), sayektine (benar-benar) nora (tidak) dadi (jadi). Jika tidak demikian itu, benar-benar tidak akan terjadi.

Jika tidak demikian maka sejatinya kemanunggalan itu tidak akan terjadi. Atau hanya kemangunggalan semu belaka, atau hanya sekedar klaim sepihak alias mengaku-aku saja.

Mungguh (bagi) ilmu (ilmu) ingkang (yang) nyata (nyata), nora (tidak) kena (bisa) den (di)sasabi (tutupi). Bagi ilmu yang nyata, tidak bisa ditutupi.

Bagi orang yang berilmu rahasia itu sudah tak tertutupi lagi. Mereka mengetahui mana yang benar-benar sudah mencapai kemanunggalan dan mana yang hanya mengaku-aku saja, sebagaimana mereka dapat membedakan suwasa bubul dengan suwasa mulia hanya dengan melihat kilaunya. Bagi kita orang awam mungkin akan sedikit kesulitan jika harus mengetahui mana yang asli dan mana yang tidak. Karena memang banyak orang yang mengaku-aku bisa mencapai tahap itu, padahal palsu.

Ewuh (susah, repot) gampang (gampang) sayekti (sebenarnya), punika (itu) wong (orang) darbe (mempunyai) kawruh (pengetahuan). Susah-susah gampang sebenarnya, itu bagi orang yang mempunyai pengetahuan.

Hal ini karena ilmu tentang manunggaling kawula Gusti adalah susah-susah gampang. Keberhasilannya tidak dapat diramalkan atau ditularkan kepada orang lain. Gampang karena amalan lahiriah yang dikerjakan tidaklah sulit dan secara teori dapat dikerjakan oleh banyak orang, namun tidak semua orang dapat mencapainya disebabkan ada sesuatu yang lain.

Gampang (gampang) yen (kalau) winicara (dibicarakan), angel (sulit) yen (kalau) durung (belum) marengi (dibarengi, bersamaan), ing (dalam) wetune (keluarnya) binuka (dengan terbuka) jroning (isi) wardaya (hatinya). Gampang  kalau hanya dibicarakan, sulit kalau tidak bersamaan, dengan terbukanya isi hati.

Yang dimaksud adalah: yang demikian itu gampang secara teori, namun pelaksanaanya membutuhkan sesuatu yang lain yakni terbukanya apa yang ada dalam hati. Dan yang terakhir ini semata-mata adalah kehendak Allah. Oleh karena itu jika seseorang akan diberi petunjuk dia akan terlebih dahulu dilapangkan dadanya untuk menerima kebenaran, dibuka tabir yang ada di dalam hatinya. Hal terakhir inilah yang sulit.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-236-binuka-jroning-wardaya/

Kajian Wulangreh (235): Resik Saka Nafsu

 Pada (bait) ke-235, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Puniku mapan upama,
tepane badan puniki.
Lamun arsa ngawruhana,
pamore kawula Gusti.
Sayekti kudu resik,
aja katempelan napsu,
luwamah lan amarah.
Sarta suci lahir batin,
dedimene sarira bisa atunggal

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Itu hanyalah perumpamaan,
penerapannya pada diri kita ini.
Jika ingin mengetahui tentang,
manunggalnya kawula-Gusti.
Benar-benar harus bersih,
jangan dihinggapi nafsu,
aluwamah dan amarah.
Serta suci lahir dan batin,
supaya diri bisa menyatu.


Kajian per kata:

Puniku (itu) mapan (tempatnya, adalah, hanyalah) upama (perumpamaan), tepane (penerapannya) badan (diri) puniki (ini). Itu hanyalah perumpamaan, penerapannya pada diri kita ini.

Setelah dalam bait yang lalu kita ketahui bahwa dalam membuat suwasa jika bahan-bahan penyusunnya tidak berkualitas bagus maka suwasa yang dihasilkan juga tidak bagus maka sekarang perumpamaan ini kita terapkan dalam konsep manunggaling kawula Gusti.

Lamun (kalau) arsa (ingin) ngawruhana (mengetahui), pamore (manunggalnya) kawula Gusti (kawula-Gusti). Jika ingin mengetahui tentang, manunggalnya kawula-Gusti.

Jika ingin mengetahui tentang manunggaling kawula Gusti yang sebenarnya, kita bisa berkaca dari proses pembuatan suwasa tersebut.

Sayekti (benar-benar) kudu (harus) resik (bersih), aja (jangan) katempelan (dihinggapi) napsu (nafsu), luwamah (aluwamah) lan (dan) amarah (amarah). Benar-benar harus bersih, jangan dihinggapi nafsu, aluwamah dan amarah.

Bahwa diri kita harus bersih dahulu sebelum manunggal. Sedangkan Allah Gusti kita adalah Dzat Yang Maha Suci yang terbebas dari noda, maka tuntutan kesucian ada pada diri kita sendiri. Kita harus membersihkan diri dari hawa nafsu, yakni nafsu luwamah dan amarah. Dua nafsu ini telah kita bahas secara panjang lebar dalam kajian serat Wulangreh pada bait-bait ke-51. Untuk menyegarkan ingatan kembali ada baiknya kami kutipkan keterangan dari bait ke-51 tersebut.

Luwamah (kadang disebut juga aluwamah) adalah nafsu yang tak pernah terpuasakan. Kata ini sebenarnya diambil dari kata Arab nafsi lawwamah yang artinya nafsu yang mampu menyesali diri. Dalam budaya Jawa kata ini kemudian berubah menjadi istilah aluwamah, nafsu yang tak pernah terpuaskan. Amarah yang dimaksud dalam gatra ini juga diambil dari kata bahasa Arab nafsal amarah bissu’, nafsu yang menyuruh pada kejahatan.

Kami tak hendak menguraikan menurut pengertian aslinya dalam bahasa Arab atau menurut Al Quran. Karena kata yang dipakai dalam gatra ini adalah kata yang sudah menjadi istilah dalam bahasa Jawa. Dan maksud gatra ini adalah: luwamah adalah nafsu yang tak pernah terpuaskan, amarah adalah nafsu yang cenderung menyuruh kepada perbuatan jahat. Kedua nafsu itulah yang diikuti oleh orang murka.

Sarta (serta) suci (suci) lahir (lahir) batin (batin), dedimene (supaya) sarira (diri) bisa (bisa) atunggal (menyatu). Serta suci lahir dan batin, supaya diri bisa menyatu.

Serta membersihkan diri secara lahir dan batin. Secara batin adalah dengan membebaskan diri dari nafsu duniawi, secara lahir adalah dengan melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan munkar. Suci dari batin juga mensyaratkan keikhlasan, yakni terbebas dari kepentingan diri sendiri atau ananiyah, keakuan. Jika sudah membersihkan diri barulah diri ini dapat menyatu dengan Tuhan (Gusti).

Kritik:

Dalam beberapa bait yang lalu telah diuraikan tentang konsep pamoring kawula-Gusti yang diumpamakan dengan proses pembuatan suwasa, yakni campuran antara emas dan tembaga. Walau pengumpamaan ini didasari keinginan untuk menyederhanakan agar mudah dipahami namun terdapat beberapa kelemahan dalam perumpamaa ini.

Pertama, menyatunya hamba dan Tuhan akan membuat sebuah perubahan pada diri hamba, namun tidak pada diri Tuhan, karena Allah adalah Baqa dan terhindar dari perubahan. Jadi perumpamaan ini mengandung kelemahan dari sisi tidak mengambarkan dengan tepat dari sisi Gusti.

Kedua, bahwa dari menyatunya hamba dan Tuhan tidak akan membentuk makhluk baru yang berbeda dari sebelumnya, dalam pengertian manusia tetap akan sebagai manusia seperti sedia kala, hanya sifat-sifatnya yang berubah ke arah lebih baik. Ada pemuliaan namun tidak ada perubahan wujud.

Demikian dua kelemahan yang kami temukan dalam perumpamaan ini, semoga dapat menjadi bahan pertimbangan. Walau bagaimanapun dua kelemahan itu tidak mengurangi nilai didaktik dari bait ini karena seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa yang diinginkan adalah perumpamaan yang mudah dipahami.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-235-resik-saka-nafsu/

KANCIL KANG PADHA MIRIS