Sabtu, 30 Maret 2024

KAJIAN SERAT WULANGREH PADA 1 PUPUH 5 DHANDHANGGULA

Kajian Wulangreh (5): Patang Prakara Rumuhun

Pada (bait) ke 5, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Lamun ana wong micareng ngelmi,
tan mupakat ing patang prakara,
aja sira age-age,
anganggep nyatanipun.
Saringana dipun baresih,
limbangen lan kang patang,
prakara rumuhun.
Dalil qadis lan ijemak,
myang kiyase papat iku salah siji,
anaa kang mupakat.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jika seseorang berbicara tentang ilmu,
tetapi tidak sesuai dengan empat hal,
janganlah engkau terlalu cepat,
menganggap kebenarannya.
Saringlah agar bening,
dan ukurlah dengan empat,
perkara dahulu.
Yaitu dalil, hadis, ijmak,
dan kiyas. Salah satu dari keempat hal itu,
 harus ada yang sesuai.

 

Kajian per kata:

Lamun (jika) ana (ada) wong (orang) micareng (berbicara tentang) ngelmi (ilmu), tan (tidak) mupakat (sesuai) ing (dalam) patang (empat) prakara (perkara), aja (jangan) sira (engkau) ageage (terlalu cepat), anganggep (menganggap) nyatanipun (kebenarannya). Jika seseorang berbicara tentang ilmu, tetapi tidak sesuai dengan empat hal, janganlah engkau terlalu cepat,menganggap kebenarannya.

Setelah pada bait ke-4 berbicara tentang ciri-ciri guru yang pantas untuk kita pedomani ilmunya, bait ini berbicara tentang orang yang berbicara tentang ilmu-ilmu agama. Bentuk penyampaiannya bisa bermacam-macam, ada yang berbicara di mimbar, podium, dalam acara resmi, maupun dalam forum percakapan non formal lainnya.

Kalau jaman sekarang mungkin bisa di acara pengajian akbar, radio-radio, televisi, maupun di group WA, beranda facebook dan lain-lain. Di jaman ini ekspresi seseorang lebih mudah disampaikan, termasuk yang bergaya nasihat, tausiah atau yang berkedok self reminder atau apapun yang dibagi kepada kalayak luas. Yang jelas jika yang dibicarakan tentang ilmu-ilmu agama jangan lantas tergesa-gesa untuk percaya, tetapi perlu disikapi secara tepat.

Saringana (saringlah) dipun (agar supaya) baresih (bening, jelas). Limbangen (ukurlah) lan (dengan) kang (yang) patang (empat), prakara (perkara) rumuhun (terlebih dulu),  Saringlah agar bening dan ukurlah dengan empat perkara dahulu.

Saringlah perkataannya agar jelas benar dan salahnya, sebelum kita percayai. Hal ini adalah sikap ilmiah kita apabila menerima informasi baru, atau pengetahuan baru. Namun seseorang tidak akan dapat menyaring jika tak punya saringan. Apa saringannya itu agar perkataan yang kita dengar dapat kita pilah benar dan salahnya? Ada empat perkara yang dipakai dalam menimbang perkataan-perkataan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama. Gatra berikut akan menjelaskannya.

Dalil (dalil Al Quran) qadis (hadits) lan (dan) ijemak (ijma’), myang (dan kemudian) kiyase (qiyas), papat (empat) iku (itu) salah siji (salah satunya), anaa (harus ada) kang (yang) mupakat (sesuai). yaitu dalil, hadis, ijmak, dan kiyas. Salah satu dari keempat hal itu, harus ada yang sesuai.

Inilah empat perkara yang harus selalu dipakai untuk menyaring setiap pendapat keagamaan, ataupun pendapat yang berkaitan dengan muamalah keduniawiaan.  Dalil dari Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Keempat itu adalah sumber hukum dalam ushul fiqih yang mesti dipelajari secara mendalam agar tidak keliru dalam menilai suatu perkataan atau pendapat orang.

Dalam bait ini ada anjuran untuk mempelajari ilmu-ilmu agama agar kita tidak buru-buru menuruti perkataan orang, tetapi mampu menyaring perkataan-perkataan tersebut. Jika kita tak menguasai ilmu yang dipakai untuk menyaring perkataan orang lain, maka jelas kita tak akan mampu menarik kesimpulan apapun tentangnya.

Agar kita dapat memilih perkataan mana yang sesuai dengan ilmu agama, maka kita pun harus menguasai juga ilmu-ilmu keagamaan tersebut. Dalam bidang fikih sering ada banyak pendapat simpang siur dan bemacam-macam, maka kita harus menguasai ilmu ushul fiqih agar dapat mendudukkan berbagai pendapat tersebut dengan tepat.

Dalam bidang akidah seringkali muncul aliran kepercayaan yang saling bertentangan, maka kita harus menguasai ilmu ushuluddin agar mampu menilai mana yang benar dan salah dan mengambil sikap pribadi atasnya. Tidak perlu lalu bersitegang berebut benar, tetapi secara pribadi mampu memilih pendapat siapa yang layak untuk diikuti. Ini penting karena sebagai muslim kita tidak boleh ela-elu, menuruti orang lain tanpa dasar keyakinan, karena setiap keputusan kita akan dipertanggungjawabkan kelak secara mandiri pula.

Dalam bidang etik seringkali muncul pertentangan mana yang patut dan tak elok menurut pendapat masing-masing, maka perlulah kita belajar tahdzibul akhlak agar mengerti yang disebut perbuatan mulia itu yang bagaimana, dst.

Jadi bait ini adalah anjuran bagi kita untuk meningkatkan pengetahuan dasar-dasar keagamaan, agar kita tak terombang-ambing di antara berbagai perkataan yang berseliweran di sekitar kita. Alih-alih kita mampu bersikap dengan benar dalam memilah dan memilih perkataan-perkataan itu.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/02/kajian-wulangreh-5-patang-prakara-rumuhun/

KAJIAN SERAT WULANGREH PADA 1 PUPUH 4 DHANDHANGGULA

 

Kajian Wulangreh (4): Amilih Sang Guru

Pada (bait) ke 4, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Nanging yen sira ngguguru kaki,
Amiliha manungsa kang nyata,
Ingkang becik martabate.
Sarta kang wruh ing kukum.
Kang ngibadah lan kang ngirangi.
Sukur oleh wong tapa,
ingkang wus amungkul.
Tan mikir pawewehing liyan,
 iku pantes sira guronana kaki,
sartane kawruhana.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tetapi jika engkau berguru, Nak.
Pilihlah guru yang sebenarnya,
Yang terjaga baik  martabatnya,
Serta yang memahami hukum.
Dan rajin beribadah dan mengurangi (awa nafsu).
Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa,
yang tekun menjalani pertapaannya.
Dan tidak mengharapkan imbalan orang lain,
dia pantas kau gurui.
Serta (yang demikian itu) ketahuilah.

 

Kajian per kata:

Nanging (tetapi)  yen (kalau)  sira (engkau) ngguguru (berguru) kaki (Nak). Amiliha (pilihlah) manungsa (orang) kang (yang) nyata (benar). Tetapi jika engkau berguru Nak, pilihlah guru  yang sebenarnya.

Ini kelanjutan dari bait ke-3 yang menyarankan agar seseorang mencari guru ketika mengkaji kitab Al Quran (dan juga dalam hal ilmu-ilmu lain). Tetapi jangan asal mencari guru. Harus dipilih guru yang benar-benar menguasai ilmu tersebut secara lahir batin, secara teori dan praktek, secara nalar dan keyakinan.

Tentu mencari guru yang demikian sangatlah sulit, lebih-lebih di jaman ketika banyak orang mengaku pintar dan paling benar. Namun penggubah serat Wulangreh ini telah menyebutkan ciri-ciri guru sejati tersebut, agar kita tak salah memilih panutan.

Ingkang (yang) becik (terjaga baik) martabate (martabatnya). Yang terjaga baik  martabatnya.

Martabat adalah penghargaan orang lain kepada orang tersebut. Jika seseorang dihargai oleh orang lain, tetangga, teman dan orang yang mengenal sebagai orang baik, maka kemungkinan besar memang dia orang baik.

Memang ada kemungkinan seseorang baik hanya untuk pencitraan saja, terhadap hal ini kita mesti menilai dari keriteria lain lagi. Namun jika seseorang dianggap buruk oleh orang sekitarnya maka kemungkinan besar dia memang bukan orang baik. Maka yang pertama adalah mencari guru yang bermartabat baik, dan sesudah itu mesti dinilai dengan kriteria berikutnya.

Sarta (serta) kang (yang) wruh (mengetahui) ing (perihal) kukum (hukum). Serta yang memahami hukum.

Kriteria kedua adalah; mencari orang yang mengerti hukum. Hukum di sini berarti hukum-hukum agama, karena konteks perintah mencari guru di atas adalah soal pemahaman terhadap Al Quran. Namun juga bisa berari hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat setempat, yang berupa peraturan, angger-angger (undang-undang) dan sebagainya.

Kang (yang) ngibadah (menjalankan ibadah) lan (dan) kang (yang) ngirangi (mengurangi hawa).  Dan rajin beribadah dan mengurangi (hawa nafsu).

Selain kedua hal di atas yang tak kalah penting adalah mencari guru yang tekun menjalankan ibadah, dan menjalankan  laku mengurangi hawa nafsu. Kata ngirangi dalam bahasa Jawa lazim diartikan sebagai mengurangi kesenangan, alias mengumbar hawa nafsu.

Dua hal ini, beribadah dan menahan hawa nafsu adalah satu paket yang sering disatukan oleh karena memang ada korelasi keduanya. Orang yang rajin beribadah pastilah tidak akan sembarangan mengumbar hawa nafsu, kecuali  jika ibadahnya hanya lelamisan (pura-pura saja).

Sukur (syukur-sykur) oleh (mendapatkan) wong (seorang) tapa (pertapa), ingkang (yang) wus (sudah) amungkul (tekun menjalani). Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa yang tekun menjalani pertapaannya.

Akan sangat beruntung jika selain kriteria yang sudah disebutkan tadi juga mendapatkan seorang pertapa yang sudah tekun menjalani pertapaannya. Kata mungkul  berarti menunduk, artinya pandangannya sudah tak kemana-mana, tidak menoleh kiri-kanan, maknanya sudah tidak hirau dengan pujian atau celaan orang lain. Hanya memusatkan pandangan pada keyakinan yang sudah menetap di hatinya. Orang yang demikian tak gampang lagi dipengaruhi oleh bujuk rayu dan ancaman. Benar-benar orang yang sudah mantap dalam keyakinan dan amalannya.

Tan (tidak) mikir (memikirkan) pawewehing (pemberian)  liyan (orang lain). Dan tidak mengharapkan pemberian orang lain.

Motivasi semua tindakannya semata-mata hanya mengabdi, beribadah kepada Sang Pencipta. Bukan sekedar mencari posisi diri, haus kekuasan, ingin pujian, mementingkan golongan dan pribadinya. Perkataan dan perilakunya adalah refleksi kesadaran intelektualnya, bukan timbul dari ego yang liar, dan juga bukan atas pesanan sponsor atau yang bayar.

Iku (itu) pantes (pantas) sira (engkau) guronana (berguru) kaki (Nak).

Jika ada manusia dengan ciri-ciri di atas maka engkau pantas berguru padanya. Mencari ilmu memang bisa di mana saja, dari siapa saja, tetapi mencari guru adalah soal lain. Guru adalah orang tua kedua yang harus kita turuti segala nasehatnya, kita berikan penghormatan dan bakti kita.

Dalam banyak budaya guru sama pentingnya dengan orang tua. Jika dari orang tua kita mendapatkan nasab berkaitan dengan darah/keturunan, dari guru kita mendapatkan nasab keilmuan. Bedanya kita tak dapat memilih dari orang tua mana kita dilahirkan, tetapi terhadap guru kita harus melakukan itu. Maka memilih guru juga harus cermat, teliti dan hati-hati, bukan asal-asalan.

Sartane (serta) kawruhana (ketahuilah). Yang demikianlah itu ketahuilah! Wahai anak-anak muda.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/01/kajian-wulangreh-4-amilih-sang-guru/

KAJIAN SERAT WULANGREH PADA 1 PUPUH 3 DHANDHANGGULA

 

Kajian Wulangreh (3) Nggoning Ilmu Sejati

Pada ke-3, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Jroning Kur’an nggonira sayekti.
Nanging ta pilih ingkang uninga.
Kajaba lawan tuduhe.
Nora kena den awur.
Ing satemah nora pinanggih.
Mundak katalanjukan,
temah sasar-susur,
Yen sira ayun waskita,
sampurnane ing badanira,
 punika sira anggegurua.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia

Di dalam Al-Quran tempatmu mencari kebenaran sejati,
hanya yang terpilih yang akan memahaminya.
Kecuali atas petunjuk-Nya.
Tidak boleh dipahami secara ngawur.
Yang akhirnya tak kau temukan (kebenaran isyarat).
Dan semakin tak teraih,
bahkan semakin tersesat.
Jika kau menghendaki kesempurnaan,
dalam dirimu sendiri,
maka bergurulah.

 

Kajian per kata:

Jroning (di dalam) Kur’an (Al Qur’an) nggonira (tempatnya) sayekti (yang sejati). Di dalam Al-Quran tempatmu mencari kebenaran sejati.

Melanjutkan bait sebelumnya tentang sasmitaning ngaurip yang harus dipahami melalui ketajaman rasa, maka di bait ini ada sumber pengetahuan sejati yang juga perlu dipelajari, yakni Al Quran. Kalam Allah yang juga sering disebut sebagai ayat-ayat. Sifatnya jelas karena memang ditujukan kepada manusia melalui kalam (kata-kata). Jadi memakai bahasa yang dipakai sehari-hari oleh manusia, bukan memakai sasmita yang hanya dipahami kaum yang sudah cendekia. Ini membuat Al Quran dapat dibaca oleh siapa saja, tentu saja dengan tingkat pemahaman masing-masing.

Nanging (tetapi) ta (hanya) pilih (yang terpilih) ingkang (yang) uninga (mengetahui). Hanya yang terpilih yang akan memahaminya.

Walau Al Qur’an diwahyukan dengan bahasa manusia, tetapi tidak semua orang dapat memahami makna sebenarnya. Hanya orang-orang terpilih yang dapat benar-benar memahaminya. Ini bukan dalam pengertian yang umum, tetapi berkaitan dengan isyarat yang ada di dalam Al Quran.

Sesungguhnya al Qur’an adalah kitab universal yang yang menjadi sarana bagi Allah SWT untuk menyampaikan kabar kepada manusia. Diturunkan kepada manusia dengan bahasa manusia sehari-hari agar setiap orang mengambil petunjuk darinya. Dari apa-apa yang dibaca manusia dari Al Quran tersebut setiap orang akan mengambil pengetahuan dalam tingkat yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat intelektual si pembaca. Di sinilah keunikan Al Quran, ia dapat memberi pengetahuan dalam kadar yang berbeda-beda tanpa harus saling bertentangan. Ibaratnya Al Quran adalah lautan yang luas. Setiap pencari air akan mendapatkan air sesuai wadah yang ia bawa. Yang wadahnya besar mampu membawa air yang banyak, yang wadahnya kecil hanya membawa semampunya saja.

Kajaba(kecuali)  lawan (atas) tuduhe (petunjukNya). Kecuali atas petunjuk-Nya.

Ini berkaitan dengan isyarat yang ada di dalam Al Quran, bahwa hanya orang-orang terpilih yang mampu memahaminya kecuali orang-orang yang telah diberi petunjuk olehNya. Yaitu orang-orang yang telah dilapangkan dadanya untuk menerima kebenaran.

 Nora (tidak) kena (boleh) den (di) awur (ngawur). Tidak boleh dipahami secara ngawur.

Setiap orang yang hendak mencari pengetahuan dari Al Quran tidak boleh ngawur. Karena harus menguasai ilmu bahasa Arab, mengerti sejarah, memahami ilmu ushuluddin, dan harus tawadlu’ tidak boleh sombong dan merasa paling paham. Tidak boleh menyimpulkan makna atas dasar duga-duga saja, atau ngawur.

 Ing (yang) satemah (akhirnya) nora (takkan) pinanggih (bertemu maknanya). Yang akhirnya tak kau temukan (kebenaran isyarat).

Jika memaksakan diri menafsirkan Al Quran atas sekehendak sendiri maka kebenaran yang dicari, isyarat yang tersirat justru takkan ditemukan.

Mundak (semakin) katalanjukan (tak teraih), temah (sehingga) sasarsusur (makin tersesat). Dan semakin tak teraih, bahkan semakin tersesat.

Semakin lama justru semakin tak teraih pengetahuan di dalamnya, sehingga makin tersesat-sesat. Hal ini karena pemahaman yang ngawur semakin mendorong manusia pada kekeliruan baru. Ketika dia tak mampu lagi mengenali benar atau salahnya, maka sesatlah ia.

 yen (kalau) sira (kau) ayun (menhendaki) waskita (pengetahuan), sampurnane (yang sempurna) ing (di dalam) badanira (dirimu sendiri),  punika (maka) sira (engkau) anggegurua (bergurulah).

Jika engkau mendhendaki pengetahuan yang lebih (waskitha) untuk kesempurnaan diri, maka bergurulah. Hal ini adalah keniscayaan bagi setiap pencari ilmu, terlebih-lebih ilmu tentang Al Quran. Tak ada seorangpun dapat mengerti dan memahami, menjiwai dan merasakan pengetahuan Al Quran tanpa seorang guru. Maka wajiblah bagi kita untuk belajar kepada mereka yang mumpuni.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/01/kajian-wulangreh-2-nggoning-ilmu-sejati/

KAJIAN SERAT WULANGREH PADA 1 PUPUH 2 DHANDHANGGULA

 

Kajian Wulangreh (2) Sasmitaning Ngaurip

Pada ke 2, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Sasmitaning ngaurip puniki,
apan ewuh yen nora weruha.
Tan jumeneng ing uripe.
Akeh kang ngaku-aku,
pangrasane sampun udani,
Tur durung wruh ing rasa,
rasa kang satuhu,
Rasaning rasa punika,
upayanen darapon sampurna ugi,
ing kauripanira.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

Isyarat dalam kehidupan ini,
akan repot kalau kau tak mengetahuinya.
Tidak akan tegak  hidupnya.
Banyak yang mengaku,
dirinya sudah memahami isyarat (dalam hidup).
Padahal belum mengetahui tentang ilmu rasa,
inti dari rasa yang sesunguhnya.
Rasanya rasa itu,
usahakanlah supaya sempurna juga,
dalam kehidupanmu.

 

Kajian per kata:

Sasmitaning (isyarat) ngaurip (dalam hidup)  puniki (inilah), apan (malah) ewuh (repot) yen (kalau) nora (tidak) weruha (mengetahuinya). Isyarat dalam kehidupan ini, akan repot kalau kau tak mengetahuinya.

Dalam bait pertama disebutkan bahwa piwulang dalam serat ini ditujukan pada para muda agar memahami isyarat dalam kehidupan. Di gatra awal bait kedua ini disebutkan lagi bahwa isyarat kehidupan akan membuat repot kalau kita tidak memahaminya.

Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan isyarat itu? Marilah kita lanjutkan kajian kita agar serat ini menjelaskan sendiri pada bait-bait selanjutnya. Yang jelas sampai bait ini hanya disebutkan ciri-ciri dan akibat orang yang tak mengetahui isyarat-isyarat yang ada.

Tan (takkan)  jumeneng (berdiri, tegak) ing (dalam) uripe (hidupnya).  Tak akan tegak hidupnya.

Begitu pentingnya mengerahui isyarat-isyarat itu sehingga kehidupan seseorang takkan tegak tanpa mengetahuinya, akan repot dalam hidupnya. Ini jelas disebabkan amat pentingnya mengetahui isyarat tersebut.

Akeh (banyak) kang (yang) ngakuaku (mengaku-aku), pangrasane (perasaanya) sampun (sudah) udani (menelanjangi, kiasan untuk memahami secara betul-betul). Banyak yang mengaku,dirinya sudah memahami isyarat (dalam hidup.

Karena penting itulah banyak orang yang kemudian mengaku-aku sudah memahami isyarat itu. Entah pengakuan itu didorong oleh nafsu pamer, atau karena didorong kebodohan mereka sehingga mengira bahwa ilmu tentang isyarat ini mudah.

Tur (padahal) durung (belum) wruh (mengetahui) ing (dalam) rasa (lmu rasa). Padahal belum mengetahui tentang ilmu rasa.

Mereka hanya menduga-duga saja, kaduk wani kurang deduga, telalu pongah dengan kemampuan diri sehingga tidak awas dalam mengukur sesuatu pengetahuan, merasa sudah paham padahal belum.

rasa (ilmu rasa) kang (yang) satuhu (sejati). Inti dari ilmu rasa yang sesungguhnya.

Di sini kami menggunakan istilah ilmu rasa, agar dipahami bahwa yang dimaksud bukan sekedar ilmu dan juga bukan sekedar perasaan. Dalam kajian Wedatama telah kami singgung tentang ilmu rasa ini, yakni kearifan yang membuat manusia tanggap dalam mengenali situasi, isyarat tanda-tanda, sehingga mampu mengambil sikap yang tepat terhadap segala peristiwa.

Rasaning (rasanya) rasa (ilmu rasa) punika (itulah), upayanen (usahakan) darapon (supaya) sampurna (sempurna)  ugi (juga),  ing (dalam) kauripanira (kehidupanmu). Rasanya rasa itu usahakanlah , supaya sempurna juga, dalam kehidupanmu.

Oleh karena ilmu rasa itu haruslah engkau upayakan dalam hidupmu, agar supaya sempurna juga kehidupanmu.

Di awal telah dikatakan bahwa ilmu rasa ini akan dapat mengetahui tentang adanya isyarat-isyarat dalam kehidupan. Isyarat atau dalam serat ini disebut dengan istilah sasmita adalah sesuatu yang halus yang hanya orang-orang terdidik saja yang mengetahui. Dalam budaya Jawa ada ungkapan sasmita narendra, yang dimaksud adalah cara komunikasi dengan bahasa halus agar hanya yang dituju saja yang mengerti.

Sasmita dalam bait pertama tadi juga disampaikan oleh penggubah serat ini dengan menggunakan segenap daya upaya agar sasmita tadi dapat ditangkap oleh para pembaca serat ini kelak. Dari konteks kalimat tadi sasmita diartikan sebagai pesan yang tersembunyi yang ada dalam segenap sesuatu. Dalam konteks kehidupan sasmita berarti tanda-tanda keadaan di sekitar kita yang memerlukan sebuah sikap yang tepat. Satu contoh yang sederhana berikut ini mungkin dapat memberi sedikit kejelasan.

Satu kali seseorang sedang bertamu kepada seorang cendekiawan. Si tamu tadi telah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan di tengah terik panas matahari. Setelah dipersilakan masuk tampak si tamu kepanasan dan capek. Beberapa kali ia menelan ludah untuk mengelabui rasa hausnya, gesture tubuhnya tampak gelisah. Beberapa kali ia mengelus tenggorokan seakan hendak meredakan rasa ngorong di kerongkongan.

Nah si tuan rumah yang sudah lantip panggraitane menangkap isyarat keadaan ini. Tampak olehnya si tamu yang kehausan, maka muncullah sikapnya atas kenyataan ini. Dia mengambil segelas air dan buru-buru menghidangkan agar si tamu cepat-cepat minum. Inilah yang dimaksud ilmu rasa, peka terhadap situasi dan mampu bertindak tepat mengatasi keadaan.

Dalam konteks kehidupan spiritual sasmita bisa diartikan sebagai ayat-ayat Allah, yang tampak pada alam semesta maupun pada diri manusia. Orang-orang yang telah tuntas dalam ilmu rasa akan sanggup mengenali ayat-ayat Allah tadi, dan mampu bertindak tepat sesuai maksud ayat-ayat Allah tadi.

Dengan adanya respon yang tepat atas sasmita yang diterima, maka hidup manusia akan bahagia, dalam arti seluruh potensinya untuk mengada terpenuhi. Inilah yang dimaksud dalam akhir bait, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira, usahakanlah supaya  sempurna juga kehidupanmu.

Cukup sekian bait  atau pada ke-2. Semoga kajian-kajian bait berikutnya semakin menjadi jelas dan terang sasmita dalam serat Wulangreh ini.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/31/kajian-wulangreh-2-sasmitaning-ngaurip/

KAJIAN SERAT WULANGREH PADA 1 PUPUH 1 DHANDHANGGULA

 

Kajian Wulangreh (1): Bebuka

Serat Wulangreh merupakan salah satu serat-serat piwulang yang populer di tanah Jawa. Serat ini tak kalah moncer dari Wedatama, juga cukup terkenal di masyarakat. Banyak digubah menjadi gendhing-gendhing yang sangat apik dan digemari kalayak. Namun seperti Wedatama, jaman sekarang juga mulai banyak yang tidak mengerti artinya. Hal itu disebabkan minat terhadap basa Jawa kian menurun.

Mengingat alasan di atas kami juga ingin mengkaji serat Wulangreh ini sekedar untuk memudahkan generasi muda memahami isinya. Tujuan kami hanyalah agar kutipan bait-bait dari serat ini yang tersebar dalam berbagai gubahan gendhing dan kutipan-kutipan lain tidak menjadi mubazir hanya karena yang mendengar tidak paham.

Adapun metode yang kami gunakan adalah dengan pendekatan per kata secara gramatikal. Cara ini sering dipraktekkan di pesantren ketika mengaji kitab kuning. Meski agak lama dan memakan waktu cara ini lebih mengena dan mendalam. Apalagi jika dilakukan dengan telaten akan menambah perbendaharaan kata-kata basa Jawa lama.

Walaupun sebenarnya penulis kajian ini juga tak punya kualifikasi yang mumpuni untuk melakukan ini semua, namun kami berharap upaya kecil ini dapat memberi manfaat, meski hanya sebesar zarrah. Itu sudah cukup bagi kami.

Pada ke 1, Pupuh ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Pamedare wasitaning ati,
cumanthaka aniru Pujangga,
dhahat mudha ing batine,
nanging kedah ginunggung,
datan wruh yen keh ngesemi,
ameksa angrumpaka,
basa kang kalantur,
tutur kang katula-tula,
tinalaten rinuruh kalawan ririh,
mrih padhanging sasmita.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Diuraikannya nasehat dari hati ini,
bermula dari kelancangan hati berniat meniru para pujangga.
Walau masih sangat muda, belum pengalaman dalam pemikiran,
tetapi karena ingin disanjung.
Tidak tahu jika kelak banyak yang mencibir.
Memaksakan diri merangkai kata,
dengan bahasa yang kacau-balau,
serta nasehat yang sia-sia.
Dikerjakan dengan telaten diperbagus dengan sabar,
agar terangnya isyarat yang disampaikan.

  Kajian per kata:

Pamedare (diuraikannya) wasitaning (petuah, nasehat) ati (hati). Diuraikannya nasehat yang keluar dari hati iniCumanthaka (lancang) aniru (meniru) Pujangga (pujangga, kaum cerdik pandai). Bermula dari kelancangan hati berniat meniru para pujangga.

Diuraikannya nasihat ini sebagai ungkapan dari hati yang dalam. Dengan lancang memberanikan diri meniru para pujangga yang sudah ahli menulis serat (kitab).

Sri Pakubuwana IV adalah raja pinandita. Selain raja beliau juga seorang cendekia yang mumpuni dalam kasusatraan, budaya, seni dan agama. Walau paham keagamaan beliau kenthal dengan aroma lokal atau kejawen tetapi penguasaan ilmu beliau amatlah luas. Hal ini dapat ditilik dari karya-karya beliau yang lain. Salah satu magnus opus satra Jawa yang turut beliau cipta adalah Sert Centhini, berkolaborasi dengan beberapa pujangga yang lain.

Walau seorang raja dalam menulis beliau tidak aji mumpung pegang kuasa, lihatlah bait pertama serat Wulangreh ini. Penuh dengan kata-kata rendah hati khas seorang cendekiawan. Dalam hal ini beliau patut diacungi jempol karena mampu memisahkan antara jabatan raja dan hobi sastra.

Dhahat (walau amat) mudha (muda, belum pengalaman) ing batine (dalam pemikiran), nanging (tetapi) kedah (harus, ingin) ginunggung (disanjung). Walau masih amat muda, belum pengalaman dalam olah pemikiran (batin) namun karena ingin mendapat sanjungan.

Mengaku belum berpengalaman dalam olah kebatinan, dalam pemikiran, dan hanya ingin tampil demi mendapat pujian semata-mata. Sekali lagi ini adalah ungkapan kerendahan hati, sebagai pernyataan bahwa karyanya belum berbobot dan hanya karena ingin dipuji saja.

Datan (tidak) wruh (tahu) yen (kalau) keh (banyak) ngesemi (mencibir, melihat sambil tersenyum karena memperolok, mencibir). Tidak tahu kalau banyak yang mencibir.

Ngesemi adalah memberi senyuman. Kalau orang Jawa melihat sesuatu yang dirasa belum pantas tidak lantas mentertawakan, tetapi cukup tersenyum. Ini isyarat bahwa orang itu tidak berkenan.

Ameksa (memaksakan diri) angrumpaka (merangkai kata), basa (bahasa) kang (yang) kalantur (kacau balau), tutur (perkataan) kang (yang) katulatula (sia-sia). Memaksakan diri merangkai kata, dengan bahasa yang kacau-balau serta nasehat yang sia-sia.

Ini juga ungkapan rendah hati lagi, mengaku bahwa merangkai kata baginya sangat sulit, tetapi memaksakan diri, sekuat upaya walau dengan bahasa yang kacau-balau, menyampaikan nasihat yang sia-sia (tak berbobot). Padahal jelas bahwa serat Wulangreh ini termasuk karya sastra yang bermutu tinggi dari segi bahasa dan amat tinggi kandungan filosfinya.

Tinalaten (dikerjakan dengan telaten) rinuruh (diperbagus) kalawan (dengan) ririh (sabar), mrih (agar) padhanging (terangnya) sasmita (isyarat). Dikerjakan dengan telaten diperbagus dengan sabar, agar terangnya isyarat yang disampaikan.

Walau dengan susah payah karena kurangnya pengalaman tadi, dengan telaten karena bahasa yang kacau balau tadi, penyusunan nasihat ini dikerjakan dengan sabar agar isyarat yang disampaikan menjadi jelas, terang benderang (padhang).

Setelah kita cermati bait pertama ini, isinya tak lain adalah ungkapan kerendahan hati penulis serat Wulangreh. Hal ini menjadi bukti bahwa Sri Paku Buwana IV adalah raja cendekia yang mampu memisahkan peran raja dan komitmen beliau pada sastra. Meski punya jabatan beliau tidak serta-merta menitahkan serat ini sebagai pedoman hidup, tetapi tetap dengan rendah hati berusaha menyajikan karya ini sebagai upaya intelektual untuk memajukan pendidikan masyarakat yang sifatnya opsional. Mangga kalau mau dipakai dan dituruti!

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/30/kajian-wulangreh-1-bebuka/

KANCIL KANG PADHA MIRIS